Kamis, 22 Januari 2015

Candu Popularitas

Aku sedang duduk sendiri, membaca. Di sebuah kantin yang tak begitu luas, hanya 6 meja besar yang masing-masing berkapasitas 8 tempat duduk. Formasi yang terlihat sedikit dipaksakan, tak bisa kubayangkan bila 48 orang lebih bersama berada di sini. Bukan hanya masalah dempet-dempetan-nya, namun pastilah akan sangat bising dan seluruhnya akan panas berkeringat! Ah, sudahlah, bayangan ini akan menyakitkan bila diteruskan..

7 kursi di sekeliling mejaku kosong, hanya aku sendiri, namun itu tadi. Barusan saja ada seorang perempuan membawa sepiring makanannya, dengan segelas es jeruk, memilih salah satu tempat duduk satu meja denganku. Kami persis berseberangan secara diagonal. Aku takluk pada bacaanku – pura-pura takluk, karena suara itu kemudian menggangguku. “Ckrik” – perempuan ini baru saja mengambil gambar sepiring makanannya dengan kamera yang ada di ponsel mininya. Sedikit demi sedikit kuintip. Kurasa nasi yang ada di depannya mulai menjadi muram. Belum juga disentuh oleh si pemilik. Seorang di baliknya lebih memilih berkonsentrasi pada ponsel mininya. Pasti sedang mengunggah sesuatu, batinku. Ambil gambar dan unggah, ambil gambar dan unggah. Begitulah jaman sekarang. Sepiring menu makan siang pun jadi komoditas popularitas. Ah, betapa muram wajah nasi itu, diabadikan bukan karena kehaibatannya. Ia diabadikan hanya sebagai alat ketenaran.

Tapi pada akhirnya diletakkannya benda kecil itu. Perhatiannya teralih pada sumber energi di depannya. Suap demi suap.  Namun lagi, yang di dalam ponsel seakan lebih mengenyangkan. Perhatiannya lamat-lamat kembali terfokus pada kotak mini itu. Ah, betapa manusia. Maya pun dipuja-puja.

Kantin mulai meriuh. Kutengok jam tanganku: 12.05, waktu para karyawan istirahat. Jelaslah bising mulai menggema, walau bukan berarti semua kursi penuh terisi. Kebanyakan dari mereka makan siang bergerombol bersama kelompok masing-masing. Bergilir mengambil makan lalu duduk bersama, beritual makan siang. Individu-individu ini mengisi meja lain. Partner semejaku sedang asyik mengunyah sembari sekali-sekali tersenyum pada layar kecil di tangannya. Kucoba fokus kembali pada bacaan, namun percuma. Bincang-bincang di seberang-seberang sana lebih riuh. Dari seberang kiriku, kuota kursi sudah penuh terisi, semuanya perempuan, menu makan siangnya lengkap dengan obrolan. Di seberang depanku terdapat dua meja, kombinasinya campur antara karyawan laki-laki, karyawan perempuan, dan kursi kosong. Sebagaimana pun kombinasinya, tetap saja obrolan merupakan menu pelengkap makan siang mereka – atau jangan-jangan malah menu utama? Namun jelas, kekompakan riuh itu mau tak mau akhirnya membuat hatiku tersenyum juga. Hangat bila dirasa. Seakan penat terlepas dalam harmoni makan siang ala kekeluargaan. Satu bercerita, satu menanggapi, ganti bercerita, tertawa, tersenyum, manggut-manggut. Semuanya dilakukan di sela-sela mengunyah, menyuap, meneguk, menelan. Bagi mereka makan siang adalah ritus. Ritus berkawan sekaligus menguapkan penat. Ritus makan tak lagi berarti khusyuk menghadap nasi dan larut dalam proses melumatnya habis. Ah, aku lupa, mana ada ritus seperti itu di jaman modern seperti ini? Makan sudah bukan lagi kebutuhan utama. Kesehatan jiwa lebih penting untuk era kali ini. Sosialisasi pun menjadi sangat populer.

12.15. Perempuan satu mejaku menyelesaikan makannya, menggeser kursi, melewatiku, lalu pergi meninggalkan kantin. Aku mencoba kembali pada bacaan. Hanya lima menit saja bertahan. Mejaku mendapat teman lagi. Kali ini dua. Sepasang karyawan laki-perempuan yang saling berteman. Sesama karyawan muda kulihat. Yang perempuan memakai kerudung dengan gaya yang sudah mulai usang namun sedikit dikombinasikan dengan gaya baru sehingga tampak tak begitu kemarin. Sejak dalam arahnya berjalan menuju meja ini, si perempuan sudah merenggut kejenakkan membacaku. Suaranya lantang menggelegar. Matanya tak begitu fokus melihat lawan bicaranya. Sesampainya perempuan tersebut di tempat duduknya, terpaut dua kursi di sebelah kananku, ia semakin menjadi. Seakan tak ingin kalah oleh suara-suara riang dari seberang. Ah, perempuan muda ini keterlaluan. Hanya untuk menanggapi pertanyaan kecil teman prianya, mengapa harus menggunakan nada manja semenggelegar itu? Sebegitu parahnya kah hasrat ingin-dikenal-publik-nya? Hentikan, Nona... Hentikan, Nona...

Lalu aku pun memutuskan menutup buku, menyeruput sisa es susu kopiku hingga kandas, kemudian segera bergegas. Inginnya memang demikian. Namun obrolan dua muda-mudi itu membuat diriku mengurungkan rencana barusan. Niatku tertahan demi bahasan tersebut. Mereka sedang membicarakan terror yang melanda kota seminggu terakhir ini. Isu tentang bagaimana sebuah isi poster dapat mengganggu stabilitas kedirian sebuah masyarakat. Nona muda itu mulai memainkan nada dalam bicaranya, menampilkan efek dramatis untuk kawan prianya. Aku menyibukkan diri dengan mengeluarkan gelas minumku sendiri dari dalam tas, menyesal telah mengandaskan porsi minum yang kupesan sebelumnya. Kembali aku pura-pura membaca dan lebih merilekskan dudukku. Jelas kutangkap kalimat mereka, membahas poster-poster yang tertempel di ruang publik. Poster-poster yang meresahkan. Diselingi kunyahan, mereka berdua berdiskusi dengan semangat. Sesekali aku ikut larut dalam bahasan mereka. Pura-puraku lengkap terfokus pada buku di tangan. Dan telingaku tersisa hanya untuk perbincangan dari sisi kananku tersebut.

“Poster-poster itu kurang ajar! Segamblang itu dipasang di tempat umum!”, seru si nona muda. “Ya, aku tahu. Aku melihatnya di perempatan jalan, bahkan hari Minggu kemarin kulihat juga di mall. Malah Pak Suro melihat satu di papan pengumuman kantor, yang lalu dirobeknya habis-habisan. Poster itu sungguh tidak manusiawi”, giliran yang laki-laki bicara. 

Kunikmati bagaimana mereka menutur kalimat masing-masing. Khusuk dan syahdu aku menikmatinya, tak ingin ketinggalan barang satu kata pun. Poster-poster tanpa nama telah tersebar di seantero kota. Dan resah melanda masyarakat karena poster-poster tersebut berisi gambar mengerikan. Nona muda di sebelah kananku mengatakan pertama kali melihat poster tersebut di salah satu tembok di gang rumahnya. Lima tertempel berisi gambar berbeda bernada sama. Gambar kucing atau anjing yang tercetak pada kertas ukuran A4. Kucing atau anjing yang mati tersiksa. “Aku ngeri banget lihat darahnya yang tercecer! Belum lagi di bulunya! Ya ampun siapa sih yang nyebarin poster begituan!”, katanya. Teman laki-lakinya menyatakan betapa ia ingin muntah ketika melihat poster tersebut di mal. Yang ia lihat adalah poster seekor kucing tiga warna, tergeletak mati berdarah-darah, dan isi perutnya sudah semburat tercecer di sekitar abdomennya. “Sungguh sadis..”, lanjutnya. “Bu Rita gaduh di kantor pagi ini. Katanya tadi malam ia sekeluarga melihat sekitar sepuluhan poster, banyak lah pokoknya, di parkiran restoran depan kantor Bupati. Bayangin dong, anaknya bu Rita dua-duanya masih kecil, enam sama sembilan tahun. Pas di restoran bu Rita bingung, anaknya gak mau makan. Pas pulang rewel gak bisa tidur”, nona muda kembali bercerita.

Aku tersenyum di balik bacaanku, kali ini terfokus pada diriku sendiri. Jadi semuanya sudah dibikin gaduh oleh poster itu. Kota sedang riuh berbincang tentang ini. Bisa jadi obrolan-obrolan yang sering diselingi tawa di meja seberang juga sedang membahas hal yang serupa. Senyumku semakin mengembang. Kututup bacaanku, dan besertanya kukemasi tempat minum ke dalam tasku. Aku harus segera bergegas pulang, segera bergegas membuka layar komputer dan harus mampir kios baca untuk beli koran lokal. Aksiku menyebarkan kegaduhan pasti sudah bertebaran di seantero dunia maya dan di koran itu. Ya, memang akulah dalang di balik poster-poster mengerikan tersebut. Sudah kusuruh orang-orangku menyebarkan ke seantero kota. Tentu dengan profesionalitas yang tinggi sehingga tak bisa diketahui siapa yang memasang. Bahkan CCTV pun luput. Aku adalah dalang, dan tak sabar aku melihat media sedang membicarakan diriku. Malam ini aku akan tertidur pulas di tengah riuhnya kota yang membicarakanku.

Dengan senyum kemenangan, aku melangkah pergi meninggalkan kantin yang masih bising itu.


ZaAKIAH DERAJAT, mahasiswa Kajian Budaya dan Media UGM. Salah satu tulisannya pernah memenangkan lomba esai mengenai seni rupa. Kini sedang menulis tesis tentang JKT 48, sembari menimbang keputusan untuk menjadi peneliti atau penulis fiksi. Bisa dikontak di zakiyah.derajat@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar