Aku sedang duduk
sendiri, membaca. Di sebuah kantin yang tak begitu luas, hanya 6 meja besar yang
masing-masing berkapasitas 8 tempat duduk. Formasi yang terlihat sedikit
dipaksakan, tak bisa kubayangkan bila 48 orang lebih bersama berada di sini.
Bukan hanya masalah dempet-dempetan-nya,
namun pastilah akan sangat bising dan seluruhnya akan panas berkeringat! Ah,
sudahlah, bayangan ini akan menyakitkan bila diteruskan..
7 kursi di sekeliling mejaku kosong, hanya aku sendiri, namun itu tadi.
Barusan saja ada seorang perempuan membawa sepiring makanannya, dengan segelas
es jeruk, memilih salah satu tempat duduk satu meja denganku. Kami persis
berseberangan secara diagonal. Aku takluk pada bacaanku – pura-pura takluk,
karena suara itu kemudian menggangguku. “Ckrik” – perempuan ini baru saja
mengambil gambar sepiring makanannya dengan kamera yang ada di ponsel mininya.
Sedikit demi sedikit kuintip. Kurasa nasi yang ada di depannya mulai menjadi
muram. Belum juga disentuh oleh si pemilik. Seorang
di baliknya lebih memilih berkonsentrasi pada ponsel mininya. Pasti sedang mengunggah sesuatu,
batinku. Ambil gambar dan unggah, ambil gambar dan unggah. Begitulah jaman
sekarang. Sepiring menu makan siang pun jadi komoditas popularitas. Ah, betapa muram
wajah nasi itu, diabadikan bukan karena kehaibatannya. Ia diabadikan hanya
sebagai alat ketenaran.
Tapi pada akhirnya
diletakkannya benda kecil itu. Perhatiannya teralih pada sumber energi di
depannya. Suap
demi suap. Namun lagi, yang di dalam
ponsel seakan lebih mengenyangkan. Perhatiannya
lamat-lamat kembali terfokus pada kotak mini itu. Ah, betapa manusia. Maya pun
dipuja-puja.
Kantin mulai meriuh.
Kutengok jam tanganku: 12.05, waktu para karyawan istirahat. Jelaslah bising mulai
menggema, walau bukan berarti semua kursi penuh terisi. Kebanyakan dari mereka
makan siang bergerombol bersama kelompok masing-masing. Bergilir mengambil
makan lalu duduk bersama, beritual makan siang. Individu-individu ini mengisi
meja lain. Partner semejaku sedang
asyik mengunyah sembari sekali-sekali tersenyum pada layar kecil di tangannya.
Kucoba fokus kembali pada bacaan, namun percuma. Bincang-bincang di
seberang-seberang sana lebih riuh. Dari seberang kiriku, kuota kursi sudah
penuh terisi, semuanya perempuan, menu makan siangnya lengkap dengan obrolan.
Di seberang depanku terdapat dua meja, kombinasinya campur antara karyawan
laki-laki, karyawan perempuan, dan kursi kosong. Sebagaimana pun kombinasinya,
tetap saja obrolan merupakan menu pelengkap makan siang mereka – atau
jangan-jangan malah menu utama? Namun jelas, kekompakan riuh itu mau tak mau
akhirnya membuat hatiku tersenyum juga. Hangat bila dirasa. Seakan penat terlepas
dalam harmoni makan siang ala kekeluargaan. Satu
bercerita, satu menanggapi, ganti bercerita, tertawa, tersenyum,
manggut-manggut. Semuanya dilakukan di sela-sela mengunyah, menyuap, meneguk,
menelan. Bagi mereka makan siang adalah ritus. Ritus berkawan sekaligus
menguapkan penat. Ritus makan tak lagi berarti khusyuk menghadap nasi dan larut
dalam proses melumatnya habis. Ah, aku lupa, mana ada ritus seperti itu di
jaman modern seperti ini? Makan sudah bukan lagi kebutuhan utama. Kesehatan
jiwa lebih penting untuk era kali ini. Sosialisasi pun menjadi sangat populer.
12.15. Perempuan
satu mejaku menyelesaikan makannya, menggeser kursi, melewatiku, lalu pergi
meninggalkan kantin. Aku mencoba kembali pada bacaan. Hanya lima menit saja
bertahan. Mejaku mendapat teman lagi. Kali ini dua. Sepasang karyawan laki-perempuan
yang saling berteman. Sesama karyawan muda kulihat. Yang perempuan memakai
kerudung dengan gaya yang sudah mulai usang namun sedikit dikombinasikan dengan
gaya baru sehingga tampak tak begitu kemarin. Sejak dalam arahnya berjalan
menuju meja ini, si perempuan sudah merenggut kejenakkan membacaku. Suaranya
lantang menggelegar. Matanya tak begitu fokus melihat lawan bicaranya.
Sesampainya perempuan tersebut di tempat duduknya, terpaut dua kursi di sebelah
kananku, ia semakin menjadi. Seakan tak ingin kalah oleh suara-suara riang dari seberang.
Ah, perempuan muda ini keterlaluan. Hanya untuk menanggapi pertanyaan kecil teman
prianya, mengapa harus menggunakan nada manja semenggelegar itu? Sebegitu
parahnya kah hasrat ingin-dikenal-publik-nya? Hentikan, Nona... Hentikan, Nona...
Lalu aku pun memutuskan menutup buku, menyeruput sisa es susu kopiku hingga
kandas, kemudian segera bergegas. Inginnya memang demikian. Namun obrolan dua
muda-mudi itu membuat diriku mengurungkan rencana barusan. Niatku tertahan demi
bahasan tersebut. Mereka sedang membicarakan terror yang melanda kota seminggu
terakhir ini. Isu tentang bagaimana sebuah isi poster dapat mengganggu
stabilitas kedirian sebuah masyarakat. Nona muda itu mulai memainkan nada dalam
bicaranya, menampilkan efek dramatis untuk kawan prianya. Aku menyibukkan diri
dengan mengeluarkan gelas minumku sendiri dari dalam tas, menyesal telah
mengandaskan porsi minum yang kupesan sebelumnya. Kembali aku pura-pura membaca
dan lebih merilekskan dudukku. Jelas kutangkap kalimat mereka, membahas poster-poster
yang tertempel di ruang publik. Poster-poster yang meresahkan. Diselingi
kunyahan, mereka berdua berdiskusi dengan semangat. Sesekali aku ikut larut
dalam bahasan mereka. Pura-puraku lengkap terfokus pada buku di tangan. Dan
telingaku tersisa hanya untuk perbincangan dari sisi kananku tersebut.
“Poster-poster itu kurang
ajar! Segamblang itu dipasang di tempat umum!”, seru si nona muda. “Ya, aku
tahu. Aku melihatnya di perempatan jalan, bahkan hari Minggu kemarin kulihat
juga di mall. Malah Pak Suro melihat satu di papan pengumuman kantor, yang lalu
dirobeknya habis-habisan. Poster itu sungguh tidak manusiawi”, giliran yang
laki-laki bicara.
Kunikmati bagaimana
mereka menutur kalimat masing-masing. Khusuk dan syahdu aku menikmatinya, tak ingin ketinggalan
barang satu kata pun. Poster-poster tanpa nama telah tersebar di seantero kota.
Dan resah melanda masyarakat karena poster-poster tersebut berisi gambar
mengerikan. Nona muda di sebelah kananku mengatakan pertama kali melihat poster
tersebut di salah satu tembok di gang rumahnya. Lima tertempel berisi gambar
berbeda bernada sama. Gambar kucing atau anjing yang tercetak pada kertas
ukuran A4. Kucing atau anjing yang mati tersiksa. “Aku ngeri banget lihat
darahnya yang tercecer! Belum lagi di bulunya! Ya ampun siapa sih yang nyebarin
poster begituan!”, katanya. Teman laki-lakinya menyatakan betapa ia ingin
muntah ketika melihat poster tersebut di mal. Yang ia lihat adalah poster
seekor kucing tiga warna, tergeletak mati berdarah-darah, dan isi perutnya
sudah semburat tercecer di sekitar abdomennya. “Sungguh sadis..”, lanjutnya.
“Bu Rita gaduh di kantor pagi ini. Katanya tadi malam ia sekeluarga melihat
sekitar sepuluhan poster, banyak lah pokoknya, di parkiran restoran depan
kantor Bupati. Bayangin dong, anaknya bu
Rita dua-duanya masih kecil, enam sama sembilan tahun. Pas di restoran bu Rita
bingung, anaknya gak mau makan. Pas pulang rewel gak bisa tidur”, nona muda
kembali bercerita.
Aku tersenyum di balik bacaanku, kali ini terfokus pada diriku sendiri.
Jadi semuanya sudah dibikin gaduh oleh poster itu. Kota sedang riuh berbincang
tentang ini. Bisa jadi obrolan-obrolan
yang sering diselingi tawa di meja seberang juga sedang membahas hal yang
serupa. Senyumku
semakin mengembang. Kututup bacaanku, dan besertanya kukemasi tempat minum ke
dalam tasku. Aku harus segera bergegas pulang, segera bergegas membuka layar
komputer dan harus mampir kios baca untuk beli koran lokal. Aksiku menyebarkan
kegaduhan pasti sudah bertebaran di seantero dunia maya dan di koran itu. Ya,
memang akulah dalang di balik poster-poster mengerikan tersebut. Sudah kusuruh
orang-orangku menyebarkan ke seantero kota. Tentu dengan profesionalitas yang
tinggi sehingga tak bisa diketahui siapa yang memasang. Bahkan CCTV pun luput. Aku
adalah dalang, dan tak sabar aku melihat media sedang membicarakan diriku. Malam
ini aku akan tertidur pulas di tengah riuhnya kota yang membicarakanku.
Dengan senyum kemenangan, aku melangkah pergi meninggalkan kantin yang
masih bising itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar