Kamis, 22 Januari 2015

Story of the Box





Catatan Peneliti/Seniman:
Story of the feeling box

…. Ketika kita pergi ke suatu tempat dan pergi ke WC umum akan banyak coretan-coretan di dinding, lalu kita membayar dengan recehan kertas yang tertulis coretan puisi di atasnya…

Alasan apa yang di pakai ketika seseorang mengunggah tulisan di media social? Apakah hanya sekedar sarana berekspresi atau hanya ingin diperhatikan atau yang lainnya? Sebenarnya sangat banyak motivasi yang mendasari seseorang dalam mengunggah atau membagikan tautan kepada khalayak maya di media sosial. Motivasi seseorang dalam berkecimpung di dunia media social sangat kompleks, akan adabanyakpembagian yang saling berpotongan satu sama lain.

Kebutuhan berekspresi?

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang suka bercerita, bercerita tentang makanan yang enak menurut dirinya, kondisi social dan pemerintahan yang ideal menurut dirinya, film atau lagu yang keren menurut dirinya, gadis/pria idaman versi dirinya, dsb yang intinya ada pada bercerita tentang sesuatu yang ideal menurut dirinya. Mereka berusaha menangkap dan menyampaikan sesuatu yang ideal dan mengunggahnya dalam berbagai bentuk seperti status, tautan, artikel, gambar, foto, video, dsb. Banyak kebingungan terjadi apakah mereka sudah mencapai hirarki kebutuhan paling akhir dari teori hirarki Maslow atau hanya diri ideal mereka saja yang sudahmencapainya. Memang idealnya, semua manusia akan berusaha mencapai hirarki terakhir tersebut, namun di era media social ini banyak pengaburan identitas real self dan ideal self pada penggunanya. 

“Semua membicarakan realita, padahal itu realita versi mereka sendiri”
Anonym

Lelehnya Hirarki Maslow
Tidak tanpa alasan mereka menciptakan ideal self di media sosial. Banyak sekali penghuni di dalamnya, semua memiliki persepsi masing-masing maka dari itu ideal self diharapkan mampu membentuk perceptual set kepada pengguna lainnya. Hal ini berkaitan dengan motivasi lain mengapa seseorang mengunggah sesuatu ke media sosial. Dengan diterbitkannya ideal self tersebut, diharapkan akan mampu mendapat banyak atensi dari pengguna lainnya. Atensi positif berupa ‘like/love/+’ akan mampu menaikkan self-esteem si pengunggah (bahkan membuat sakau), begitu juga sebaliknya, dengan sedikitnya respon positif dan banyaknya komentar negatif akan menurunkan self-esteem bahkan (lebih parahnya) membuat depresi si pengunggah. Atau ketika membandingkan self-self dengan pengguna lainnya akan sangat riskan mempengaruhi self-esteem. Hal tersebut merupakan sesuatu yang kerap ditemui di era deras informasi, hingga pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi diri untuk membentuk kembali self-image yang baru yang nantinya akan berkaitan dengan social acceptance dan self acceptance. Mungkin hal-hal ini tidak akan terjadi pada orang yang benar-benar self actualized (menurut Maslow, seorang yang sudah mencapai self actualized tidakmemerlukan atensi dalamperilakunya).
 
Hukum Grativasi Mainstream
Banyak cara untuk menarik atensi dan diterima masyarakat media sosial, dimana seseorang benar-benar berkompromi melawan diri idealnya dan sengaja memunculkan sisi real self sehingga dapat memancing atensi dari pengguna lain. Berbeda dengan unggahan pada paparan di paragraph sebelumnya, atensi yang diharapkan disini lebih pada atensi seperti dikasihani, dihibur, didukung dan sebagainya. Semua orang ingin ceritanya didengar entah itu sedih atau bahagia, kesesuaian ekspektasi akan respon yang didapat adalah kebahagiaan tersendiri. Pada tahap selanjutnya, segala bentuk  atensi akan berpotensi berkembang menjadi sarana untuk membentuk hubungan kasih sayang, persahabatan, dan mencari pasangan. Siapa diri kita di dunia maya terbentuk oleh orang-orang yang ada di dalamnya.

Tidak semua pengunggah belum mencapai self idealnya dan tidak semua pengunggah seluruhnya telah mencapai self idealnya. Disinilah ruang yang dimanfaatkan media sosial untuk terus ada.Seiring rasa sadar akan posisi media sosial dengan posisi dirinya, pada level berikutnya akan ada social influence yang nantinya menjadikan media sosial sebagai ajang berpolitik.

"di dunia maya kamu bisa menjadi siapa saja, rugi amat kalojadi diri sendiri"
(Herlina Dilanea, 2010)

Berekspresi dengan ‘tulus’?

Pada proyek  Story of The Feeling Box ‘ akan mencoba mencari tahu motivasi dasar para pengunggah di media sosial. Apakah benar jika mereka hanya sekedar ingin mengekspresikan sesuatu atau mengharap timbal balik? Adakah perbedaannya?

Feeling box akan diletakkan di tempat-tempat publik dengan menyediakan kertas kosong diatasnya, siapapun dibebaskan untuk menulis dan mengisinya. Feeling box ini diciptakan rahasia dimana kamu bisa mengungkapkan apapun di dalamnya tanpa diketahui orang lain kecuali si pembuat kotak ini. Siapa pembuat kotak ini? Misterius! 

“Boxes are particularly useful in art therapy due to their innate capacity to protect and preserve contents, create a safe space within the enclosure to explore and address feelings and/or fears, as well as join opposing parts of self - a frequent therapeutic goal. “ (Farrell-Kirk, 2001; Kaufman, 1996)

Kotak ini mirip dengan terapi PSHE untuk anak-anak di dalam suatu kelas milik Randy .MGold, yaitu suatu terapi yang bertujuan melatih anak agar mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Selain itu mirip juga dengan terapi untuk mengurangi depresi pada usia remaja dan dewasa awal, terapi ini menggunakan kotak diletakkan di suatu tempat yang agak jauh kemudian saat subjek ingin mengisi kotak tersebut harus pergi kesana dan mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. 

Rancangan Feeling Box
Hal yang membedakan dari kotak yang dijelaskan di atas, feeling box ini adalah milik publik, milik bersama, dan siapapun boleh mengisinya tanpa tahu siapa pembuat kotak tersebut. Hal ini dilakukan guna menghindari adanya transferensi dengan si pembuat kotak tersebut. Diharapkan mereka tidak akan ragu mengungkapkan inner feeling mereka tanpa takut dijudge oleh orang lain.





“hei cobalah kau keluarkan apa yang kau fikirkan, terus teranglah
Jika tak bisa diucapkan cukuplah dituliskan saja
Yang ingin disampaikan, yang ingin diucapkan,”
(#np kokoro no placard, JKT48)

Proyek ini sangat menarik mengingat perancangan untuk proyek ini dilakukan di dunia maya dan akan dipublikasikan di dunia maya juga. Proyek ini terasa seperti Martian Curiosity-nya NASA yang sedang observasi di dunia sana yang ironisnya sejatinya adalah dunia nyata kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri kita sedang hidup di mana dunia maya sangat erat (bahkan tumpang tindih) dengan kehidupan kita.


Bekas mahasiswa psikologi, pecinta lawan jenis dan desain grafis, bystander peradaban, aku BONDAN PEKSOJANDU, dukung aku ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar