Catatan Peneliti/Seniman:
Story
of the feeling box
…. Ketika kita pergi ke suatu tempat dan pergi
ke WC umum akan banyak coretan-coretan di dinding, lalu kita membayar dengan recehan
kertas yang tertulis coretan puisi di atasnya…
Alasan apa
yang di pakai ketika seseorang mengunggah tulisan di media social? Apakah hanya
sekedar sarana berekspresi atau hanya ingin diperhatikan atau yang lainnya? Sebenarnya
sangat banyak motivasi yang mendasari seseorang dalam mengunggah atau membagikan
tautan kepada khalayak maya di media sosial. Motivasi seseorang dalam berkecimpung
di dunia media social sangat kompleks, akan adabanyakpembagian yang saling berpotongan
satu sama lain.
Kebutuhan berekspresi?
Pada dasarnya,
manusia adalah makhluk yang suka bercerita, bercerita tentang makanan yang enak
menurut dirinya, kondisi social dan pemerintahan yang ideal menurut dirinya,
film atau lagu yang keren menurut dirinya, gadis/pria idaman versi dirinya, dsb
yang intinya ada pada bercerita tentang sesuatu yang ideal menurut dirinya. Mereka berusaha menangkap dan menyampaikan sesuatu yang
ideal dan mengunggahnya dalam berbagai bentuk seperti status, tautan, artikel,
gambar, foto, video, dsb. Banyak kebingungan terjadi apakah mereka sudah mencapai
hirarki kebutuhan paling akhir dari teori hirarki Maslow atau hanya diri ideal
mereka saja yang sudahmencapainya. Memang idealnya, semua manusia akan berusaha
mencapai hirarki terakhir tersebut, namun di era media social ini banyak pengaburan
identitas real self dan ideal self pada penggunanya.
“Semua membicarakan realita, padahal itu realita versi mereka
sendiri”
Anonym
Lelehnya Hirarki Maslow |
Tidak tanpa alasan mereka menciptakan ideal
self di media sosial. Banyak sekali penghuni di dalamnya, semua memiliki persepsi
masing-masing maka dari itu ideal self diharapkan
mampu membentuk perceptual set kepada pengguna
lainnya. Hal ini berkaitan dengan motivasi lain mengapa seseorang mengunggah
sesuatu ke media sosial. Dengan diterbitkannya ideal self tersebut, diharapkan akan
mampu mendapat banyak atensi dari pengguna lainnya. Atensi positif berupa
‘like/love/+’ akan mampu menaikkan self-esteem si pengunggah (bahkan membuat
sakau), begitu juga sebaliknya, dengan sedikitnya respon positif dan banyaknya komentar
negatif akan menurunkan self-esteem bahkan (lebih parahnya) membuat depresi
si pengunggah. Atau ketika membandingkan self-self dengan pengguna lainnya akan
sangat riskan mempengaruhi self-esteem. Hal tersebut merupakan sesuatu
yang kerap ditemui di era deras informasi, hingga pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi
diri untuk membentuk kembali self-image yang baru yang nantinya akan berkaitan
dengan social acceptance dan self acceptance. Mungkin hal-hal ini
tidak akan terjadi pada orang yang benar-benar self actualized (menurut
Maslow, seorang yang sudah mencapai self actualized tidakmemerlukan atensi dalamperilakunya).
Hukum Grativasi Mainstream |
Banyak cara untuk menarik atensi dan
diterima masyarakat media sosial, dimana seseorang benar-benar berkompromi melawan
diri idealnya dan sengaja memunculkan sisi real self sehingga dapat memancing
atensi dari pengguna lain. Berbeda dengan unggahan pada paparan di paragraph
sebelumnya, atensi yang diharapkan disini lebih pada atensi seperti dikasihani,
dihibur, didukung dan sebagainya. Semua orang ingin ceritanya didengar entah itu
sedih atau bahagia, kesesuaian ekspektasi akan respon yang didapat adalah kebahagiaan
tersendiri. Pada tahap selanjutnya, segala bentuk atensi akan berpotensi berkembang menjadi sarana
untuk membentuk hubungan kasih sayang, persahabatan, dan mencari pasangan. Siapa
diri kita di dunia maya terbentuk oleh orang-orang yang ada di dalamnya.
Tidak semua pengunggah belum
mencapai self idealnya dan tidak semua pengunggah seluruhnya telah mencapai self
idealnya. Disinilah ruang yang dimanfaatkan media sosial untuk terus ada.Seiring
rasa sadar akan posisi media sosial dengan posisi dirinya, pada level berikutnya
akan ada social influence yang nantinya menjadikan media sosial sebagai ajang
berpolitik.
"di dunia
maya kamu bisa menjadi siapa saja, rugi amat kalojadi diri sendiri"
(Herlina Dilanea, 2010)
Berekspresi dengan
‘tulus’?
Pada proyek ‘Story of The Feeling Box ‘ akan mencoba
mencari tahu motivasi dasar para pengunggah di media sosial. Apakah benar jika mereka hanya sekedar ingin mengekspresikan
sesuatu atau mengharap timbal balik? Adakah perbedaannya?
Feeling box akan diletakkan di tempat-tempat publik dengan menyediakan kertas
kosong diatasnya, siapapun dibebaskan untuk menulis dan mengisinya. Feeling box
ini diciptakan rahasia dimana kamu bisa mengungkapkan apapun di dalamnya tanpa diketahui
orang lain kecuali si pembuat kotak ini. Siapa pembuat kotak ini? Misterius!
“Boxes are
particularly useful in art therapy due to their innate capacity to protect and
preserve contents, create a safe space within the enclosure to explore and
address feelings and/or fears, as well as join opposing parts of self - a
frequent therapeutic goal. “ (Farrell-Kirk, 2001; Kaufman, 1996)
Kotak ini mirip
dengan terapi PSHE untuk anak-anak di dalam suatu kelas milik Randy .MGold, yaitu
suatu terapi yang bertujuan melatih anak agar mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan
apa yang sedang ia rasakan. Selain itu mirip juga dengan terapi untuk mengurangi
depresi pada usia remaja dan dewasa awal, terapi ini menggunakan kotak diletakkan
di suatu tempat yang agak jauh kemudian saat subjek ingin mengisi kotak tersebut harus pergi kesana dan mengungkapkan apa
yang sedang ia rasakan.
Rancangan Feeling Box |
Hal yang
membedakan dari kotak yang dijelaskan di atas, feeling box ini adalah milik publik,
milik bersama, dan siapapun boleh mengisinya tanpa tahu siapa pembuat kotak tersebut.
Hal ini dilakukan guna menghindari adanya transferensi dengan si pembuat kotak tersebut.
Diharapkan mereka tidak akan ragu mengungkapkan inner feeling mereka tanpa takut dijudge oleh orang lain.
“hei cobalah kau keluarkan apa yang kau fikirkan, terus teranglah
Jika tak bisa diucapkan cukuplah dituliskan saja
Yang ingin disampaikan, yang ingin diucapkan,”
(#np kokoro no placard, JKT48)
Proyek ini
sangat menarik mengingat perancangan untuk proyek ini dilakukan di dunia maya dan
akan dipublikasikan di dunia maya juga. Proyek ini terasa seperti Martian
Curiosity-nya NASA yang sedang observasi di dunia sana yang ironisnya sejatinya
adalah dunia nyata kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri kita sedang hidup
di mana dunia maya sangat erat (bahkan tumpang tindih) dengan kehidupan kita.
Bekas mahasiswa psikologi, pecinta lawan jenis dan desain grafis, bystander peradaban, aku BONDAN PEKSOJANDU, dukung aku ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar