di atas adalah kumpulan harapan lanjutan dari part sebelumnya (bisa dilihat di sini)
untuk merangkai harapan tersebut, anggota tim kami, yaitu Saiful Bachri mencoba merangkum dan merepresentasikan dengan wujud gambar ilustrasi mengenai keadaan jogja saat ini
Sabtu, 11 Juli 2015
Kamis, 11 Juni 2015
Harapan di Langit Jogja
Secara umum, tulisan ini adalah
bagian dari ‘Proyek Memeluk Erat Pelangi dalam Dekapan Sudut Hatimu”, dan
secara khusus artikel ini merupakan kelanjutan dari bagian display karya yang
berupa majalah “Njuk Piye?: Sebuah Kota di atas Kertas” yang terpajang bersama di
dalam rangkaian Jogja Artweeks 15 Artwork Showcase yang berlangsung tanggal 9 –
27 Juni di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM (PKKH UGM).
Majalah “Njuk Piye?: Sebuah Kota
di atas Kertas” bisa dilihat dan diunduh di sini.
Dalam halaman metode dan
pelaksanaan yang ada di majalah, dituliskan bahwa proyek ini memiliki tujuan mengumpulkan data berupa data harapan dan sebuah sketsa bangunan. proses pengumpulan data ini berlangsung dari tanggal 10 hingga tanggal 28 Mei 2015 di berbagai tempat di seluruh kota Jogjakarta. Untuk sketsa bangunan
yang terkumpul telah dirangkai dan dipajang di dalam ruang pameran PKKH UGM. Untuk data
harapan dikompilasikan di bawah ini. Page ini hanya akan menjelaskan dan menampilkan kumpulan harapan dari partisipan yang
kami dapatkan selama proyek ini.
tentang Jogja Artweeks 15 Artwork Showcase bisa dilihat di sini
tentang Jogja Artweeks 15 Artwork Showcase bisa dilihat di sini
Harapan di Langit Jogja
Sebuah upaya menerbangkan ke langit data-data harapan yang kami dapat dari para partisipan. sebuah upaya kami dalam bertanggungjawab menampilkan apa yang kami peroleh kepada khalayak ramai, sebuah upaya untuk memberi pandangan baru kepada siapa saja yang mempunyai kepentingan atas kota ini. Kota ini milik banyak orang, bukan hanya milik satu orang, satu keluarga, satu golongan, satu strata, maupun satu yang lain, namun kota ini milik satu kota itu sendiri. Kota adalah sebuah ruang untuk hidup para penghuninya, dengan kompleksitasnya kota yang dinamis memiliki banyak persoalan yang muncul. dalam proyek ini diharapkan harapan-harapan dari partisipan ini bisa dijadikan referensi oleh pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk bersinergi membawa Jogja ke arah yang lebih baik.
Kamis, 22 Januari 2015
Vol. 2 Aku Mengupload Maka Aku Ada
Daftar Isi:
My Temptation oleh Khalid Hidayat
Story of the Box oleh Bondan Peksojandhu
Monggo Pinarak oleh Saiful Bachri
Simulasi Menjadi oleh Saiful Bachri
Upload Teman, Lupa Teman oleh Adam Warhole
Diunggahne oleh BS Wirawan
Candu Popularitas oleh Zakiah Derajat
Manifesto Generasi Upload dan catatan-catatan reflektif tentangnya.
Jangan
sampai traveling tanpa membawa ponsel.
Sangat sulit membayangkan melakukan perjalanan
tanpa memamerkannya ke orang lain. Kini mungkin tidak penting lagi pemandangan
apa yang dilihat oleh mata kita. Jauh lebih penting memikirkan pemandangan apa
yang berhasil dijepret oleh kamera di ponsel kita. Tentunya dengan wajah kita
sebagai latar depannya. Foto lebih penting daripada oleh-oleh. Blog telah
memungkinkan kita menceritakan seluruh perjalanan kita, seolah-olah sang
petualang bisa memberi inspirasi bagi para pembaca. Teknologi GPS dan media
sosial seperti foursquare menjadi kebanggan karena merekam jejak-jejak
perjalanan. Cek in kini bukan melulu istilah di lobi hotel.
Hindari
berteman atau di-follow oleh orang
tua.
Katanya medsos membuat mereka bisa menjadi diri
sendiri apa adanya. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud menjadi diri sendiri apa
adanya? Medsos memungkinkan terciptanya ruang alternatif untuk mengekspresikan
diri. Kita menyortir siapa yang menjadi teman di medsos. Kita tidak mau lagi
disensor, karena sensor adalah kerjaan kelompok-kelompok tertentu di ruang
nyata. Di ruang maya ada aturan main mengenai norma yang berbeda. Semua
tergantung siapa yang bisa membaca status ataupun tweet kita. Tidak heran kita
banyak menemui orang-orang IOEO (Introvertly Offline but Extrovertly Online)
alias orang yang pendiam di dunia nyata namun cerwet di dunia maya.
Meski terlalu berlebihan untuk menyebut media
sosial menyetir aktivitas kita, mungkin pernyataan itu ada benarnya. Instagram
tiba-tiba membuat semua orang jadi food-stylish. Makanan di meja makan ruamah
pun mendadak estetis, tertata rapih, clean, layaknya pesanan di restoran mewah.
Lain lagi yang kita lakukan ketika sajian diantar pramusaji di meja kafe. Stop,
jangan makan dulu, foto dulu. Seolah-olah semua percaya pada slogan “Kamu
adalah apa yang kamu makan”. Kita mulai sedikit tidak perduli pada rasa ataupun
aroma. Makanan sekarang adalah melulu soal visual. Mungkin semua juga gara-gara
acara Masterchef dan kontes masak di televisi lainnya. Dan indomie pun kini
tersaji persis seperti apa yang terlihat di bungkusnya.
Gunakan
ikon, smiley, atau stiker dalam medsos sebagai bahasa baru dalam chat.
Teknologi dalam ruang-ruang maya menawarkan
bahasa-bahasa baru yang terangkum dalam ikon atau simbol visual. Awalnya mungkin
hanya smiley-smiley sederhana dari Yahoo, sampai kini muncul aplikasi chating
seperti Line yang penuh dengan karakter dengan berbagai posenya. Ekspresi yang
diungkapkan lewat sebuah figur tidak lagi sekedar ekspresi emosi senang dan
sedih. Mulai dari tertawa ngakak terguling-guling hingga sedih karena kesepian
pun bisa diungkapkan dengan sekali klik. Teknologi memberikan kepraktisan, kesimpelan, serta keminimalisan yang
sekaligus membuat kita untuk terus menerus belajar bahasa.
Bawa tongsis kemana-mana. Ketika memakai
berfesyen, foto seluruh badan.
Kalau
tidak salah, beberapa waktu lalu ramai tersebar berita mengenai tongsis yang
pernah masuk ke dalam list penemuan gagal Jepang tahun 1990-an. Nyatanya kini
tongsis diedarkan di wahana wisata nyaris mirip penjaja foto polaroid langsung
jadi zaman dahulu. Selfie menjadi kata terpopuler tahun 2014 versi media
global. Banyak yang melihat gejala narsistik dalam selfie. Tapi lebih dari itu,
perlu juga dipikirkan gejala meng-upload foto tubuh yang ditawarkan teknologi. Hal
ini turut berdampak pada aktivitas fesyen yang bisa dilakukan semua orang. Kamu
tidak sekedar wajahmu, tapi kamu juga adalah apa yang kamu kenakan.
Terkadang tidak penting siapa temanmu, tapi
di mana kamu berteman.
Siklus
timbul tenggelamnya satu medsos ke yang lain mungkin perlu juga dipandang dari
sejauh mana industri teknologi dan basis bisnis di baliknya. Friendster yang
mungkin menjadi induk semua ini untuk kita di Indonesia sekarang mungkin tidak
dikenal oleh generasi yang mengantongi Android di sakunya. Facebook sign
in, facebook sign out. Twitter log in, twitter log out. Tiba-tiba instagram dan
path merajai ruang di mana kita harus berkumpul. Kita serentak berpindah kamar,
meski dengan kawan dan interaksi yang itu-itu saja.
Like some posts dan kamu lebih berguna
untuk orang lain.
Dengan fitur like,
vote, ataupun sejenisnya, medsos
menawarkan bentuk dukungan dengan cukup menekan sekali klik. Hal ini melahirkan
apa yang disebut aktivis internet di mana duduk di depan komputer dianggap
sudah cukup mampu melakukan perubahan sosial. Apalagi sekarang berita di
televisi dan koran mulai kekurangan bahan sehingga membahas fenomena-fenomena
besar di dunia maya dan mengaburkan batasan antara gerakan massal yang turun ke
jalan dan yang di balik monitor. Problemanya adalah dunia maya ditinggali oleh
akun-akun. Sebagian mungkin benar-benar satu orang satu akun. Sementara tidak
dipungkiri yang ada adalah satu orang seratus akun.
Tinggalkan
pesan terakhir sebelum mati.
Internet memungkinkan kita untuk membuat
catatan-catatan sekecil dan sepribadi apapun untuk menjadi konsumsi publik.
Tidak asing lagi setiap peristiwa kematian akan memancing media massa untuk
membahas apa status ataupun tweet terakhir korban. Kecenderungannya, semua
catatan terakhir korban di akunnnya dianggap sebagai pesan terakhir yang
sengaja ditinggalkan. Kini nampaknya nyaris tidak ada orang yang bunuh diri
sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan terakhir.
Meme adalah
bentuk seni paling kontemporer.
Salahkan situs 9gag ataupun adaptasi Indonesia-nya
1cak yang mempopulerkan meme. Meme yang dicirikhaskan sebagai imaji visual
sederhana namun mampu membawa pesan parodi. Teknologi oleh digital yang makin
merebak membuat meme menjadi bentuk olah visual yang bisa dibuat banyak orang
dan dipublikasikan untuk diakses publik. Sebagian menganggap meme adalah
peralihan estetika yang semakin menjadi menjijikkan. Namun, sebagian lain
justru melihat maraknya meme adalah bentuk demokratisasi seni.
Mengupload sebagai
perlombaan membentuk identitas.
Pada akhirnya, kami menawarkan satu perspektif untuk melihat budaya
upload ini. Yakni sebagai sarana pembentukan identitas. Mengupload mungkin
tidak bisa membuat kaya, namun setidaknya membuat si pengupload terlihat kaya.
Semua bisa menunjukkan apa yang ia kenakan, apa yang ia makan, ke mana ia
pergi, ataupun dengan siapa ia saat ini. Lima seniman dalam wokeiki vol. 2 ini berusaha menafsirkan gagasan di atas
dalam kacamata dan pengalamannya masing-masing. Adam berusaha menginterogasi
interaksi online dan offline pada budaya upload. BS memilih untuk mengungkap
filosofi kata upload secara parodik. Saiful mengakat wacana kaburnya batasan
privat dan publik dalam budaya ini serta kemungkinan akun mengakomodir suara alam. Bondan bereksperimen mencari tahu bagaimana
ketika memindahkan inti budaya upload ke dunia offline. Sementara Khalid
mencoba melihat medsos dan efek sampingnya. Terakhir, volume ini menghadirkan
karya seorang kontributor, Zaki, berupa sebuah cerpen yang mengulik psikologis
generasi upload.
Irham N. Anshari
Editor
WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni kontemporer (contemporary art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com
Irham N. Anshari
Editor
WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni kontemporer (contemporary art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com
My Temptation
KHALID HIDAYAT, seorang hobbyist penikmat komik. Saat ini mencoba aktif berkegiatan di Unit Seni Rupa UGM
Story of the Box
Catatan Peneliti/Seniman:
Story
of the feeling box
…. Ketika kita pergi ke suatu tempat dan pergi
ke WC umum akan banyak coretan-coretan di dinding, lalu kita membayar dengan recehan
kertas yang tertulis coretan puisi di atasnya…
Alasan apa
yang di pakai ketika seseorang mengunggah tulisan di media social? Apakah hanya
sekedar sarana berekspresi atau hanya ingin diperhatikan atau yang lainnya? Sebenarnya
sangat banyak motivasi yang mendasari seseorang dalam mengunggah atau membagikan
tautan kepada khalayak maya di media sosial. Motivasi seseorang dalam berkecimpung
di dunia media social sangat kompleks, akan adabanyakpembagian yang saling berpotongan
satu sama lain.
Kebutuhan berekspresi?
Pada dasarnya,
manusia adalah makhluk yang suka bercerita, bercerita tentang makanan yang enak
menurut dirinya, kondisi social dan pemerintahan yang ideal menurut dirinya,
film atau lagu yang keren menurut dirinya, gadis/pria idaman versi dirinya, dsb
yang intinya ada pada bercerita tentang sesuatu yang ideal menurut dirinya. Mereka berusaha menangkap dan menyampaikan sesuatu yang
ideal dan mengunggahnya dalam berbagai bentuk seperti status, tautan, artikel,
gambar, foto, video, dsb. Banyak kebingungan terjadi apakah mereka sudah mencapai
hirarki kebutuhan paling akhir dari teori hirarki Maslow atau hanya diri ideal
mereka saja yang sudahmencapainya. Memang idealnya, semua manusia akan berusaha
mencapai hirarki terakhir tersebut, namun di era media social ini banyak pengaburan
identitas real self dan ideal self pada penggunanya.
“Semua membicarakan realita, padahal itu realita versi mereka
sendiri”
Anonym
Lelehnya Hirarki Maslow |
Tidak tanpa alasan mereka menciptakan ideal
self di media sosial. Banyak sekali penghuni di dalamnya, semua memiliki persepsi
masing-masing maka dari itu ideal self diharapkan
mampu membentuk perceptual set kepada pengguna
lainnya. Hal ini berkaitan dengan motivasi lain mengapa seseorang mengunggah
sesuatu ke media sosial. Dengan diterbitkannya ideal self tersebut, diharapkan akan
mampu mendapat banyak atensi dari pengguna lainnya. Atensi positif berupa
‘like/love/+’ akan mampu menaikkan self-esteem si pengunggah (bahkan membuat
sakau), begitu juga sebaliknya, dengan sedikitnya respon positif dan banyaknya komentar
negatif akan menurunkan self-esteem bahkan (lebih parahnya) membuat depresi
si pengunggah. Atau ketika membandingkan self-self dengan pengguna lainnya akan
sangat riskan mempengaruhi self-esteem. Hal tersebut merupakan sesuatu
yang kerap ditemui di era deras informasi, hingga pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi
diri untuk membentuk kembali self-image yang baru yang nantinya akan berkaitan
dengan social acceptance dan self acceptance. Mungkin hal-hal ini
tidak akan terjadi pada orang yang benar-benar self actualized (menurut
Maslow, seorang yang sudah mencapai self actualized tidakmemerlukan atensi dalamperilakunya).
Hukum Grativasi Mainstream |
Banyak cara untuk menarik atensi dan
diterima masyarakat media sosial, dimana seseorang benar-benar berkompromi melawan
diri idealnya dan sengaja memunculkan sisi real self sehingga dapat memancing
atensi dari pengguna lain. Berbeda dengan unggahan pada paparan di paragraph
sebelumnya, atensi yang diharapkan disini lebih pada atensi seperti dikasihani,
dihibur, didukung dan sebagainya. Semua orang ingin ceritanya didengar entah itu
sedih atau bahagia, kesesuaian ekspektasi akan respon yang didapat adalah kebahagiaan
tersendiri. Pada tahap selanjutnya, segala bentuk atensi akan berpotensi berkembang menjadi sarana
untuk membentuk hubungan kasih sayang, persahabatan, dan mencari pasangan. Siapa
diri kita di dunia maya terbentuk oleh orang-orang yang ada di dalamnya.
Tidak semua pengunggah belum
mencapai self idealnya dan tidak semua pengunggah seluruhnya telah mencapai self
idealnya. Disinilah ruang yang dimanfaatkan media sosial untuk terus ada.Seiring
rasa sadar akan posisi media sosial dengan posisi dirinya, pada level berikutnya
akan ada social influence yang nantinya menjadikan media sosial sebagai ajang
berpolitik.
"di dunia
maya kamu bisa menjadi siapa saja, rugi amat kalojadi diri sendiri"
(Herlina Dilanea, 2010)
Berekspresi dengan
‘tulus’?
Pada proyek ‘Story of The Feeling Box ‘ akan mencoba
mencari tahu motivasi dasar para pengunggah di media sosial. Apakah benar jika mereka hanya sekedar ingin mengekspresikan
sesuatu atau mengharap timbal balik? Adakah perbedaannya?
Feeling box akan diletakkan di tempat-tempat publik dengan menyediakan kertas
kosong diatasnya, siapapun dibebaskan untuk menulis dan mengisinya. Feeling box
ini diciptakan rahasia dimana kamu bisa mengungkapkan apapun di dalamnya tanpa diketahui
orang lain kecuali si pembuat kotak ini. Siapa pembuat kotak ini? Misterius!
“Boxes are
particularly useful in art therapy due to their innate capacity to protect and
preserve contents, create a safe space within the enclosure to explore and
address feelings and/or fears, as well as join opposing parts of self - a
frequent therapeutic goal. “ (Farrell-Kirk, 2001; Kaufman, 1996)
Kotak ini mirip
dengan terapi PSHE untuk anak-anak di dalam suatu kelas milik Randy .MGold, yaitu
suatu terapi yang bertujuan melatih anak agar mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan
apa yang sedang ia rasakan. Selain itu mirip juga dengan terapi untuk mengurangi
depresi pada usia remaja dan dewasa awal, terapi ini menggunakan kotak diletakkan
di suatu tempat yang agak jauh kemudian saat subjek ingin mengisi kotak tersebut harus pergi kesana dan mengungkapkan apa
yang sedang ia rasakan.
Rancangan Feeling Box |
Hal yang
membedakan dari kotak yang dijelaskan di atas, feeling box ini adalah milik publik,
milik bersama, dan siapapun boleh mengisinya tanpa tahu siapa pembuat kotak tersebut.
Hal ini dilakukan guna menghindari adanya transferensi dengan si pembuat kotak tersebut.
Diharapkan mereka tidak akan ragu mengungkapkan inner feeling mereka tanpa takut dijudge oleh orang lain.
“hei cobalah kau keluarkan apa yang kau fikirkan, terus teranglah
Jika tak bisa diucapkan cukuplah dituliskan saja
Yang ingin disampaikan, yang ingin diucapkan,”
(#np kokoro no placard, JKT48)
Proyek ini
sangat menarik mengingat perancangan untuk proyek ini dilakukan di dunia maya dan
akan dipublikasikan di dunia maya juga. Proyek ini terasa seperti Martian
Curiosity-nya NASA yang sedang observasi di dunia sana yang ironisnya sejatinya
adalah dunia nyata kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri kita sedang hidup
di mana dunia maya sangat erat (bahkan tumpang tindih) dengan kehidupan kita.
Bekas mahasiswa psikologi, pecinta lawan jenis dan desain grafis, bystander peradaban, aku BONDAN PEKSOJANDU, dukung aku ya!
Monggo Pinarak
Karya ini mewacanakan batas arena publik dan yang privat semakin samar dalam dunia maya, yang privat jadi publik dan sebaliknya. Saiful Bahcri berargumen mengenai batas nyata adalah kesadaran diri untuk memperlakukannya sebagai suatu nilai guna bagi diri ataupun orang lain, tidak sekadar larut dalam hiruk pikuk sesaat. Dalam karya ini Saiful membuat sebuah pola berhiaskan karya lukisnya. Pola ini direncanakan untuk dibuat sebagai sprei atau taplak meja yang biasanya berada di wilayah batas privat dan publik.
SAIFUL BACHRI, pedagang kaos keliling,
penyuka roti yang suka menggambar di kala luang, aktif di USER UGM.
Simulasi Menjadi
Search Facebook User:
Udara Udara
Kangmas Banyu
Api Api
Tanah Tanah
Catatan Peneliti/Seniman:
Media
Sosial memungkinkan seseorang untuk menjadi apa dan siapa dalam
sekejap. Tanpa perlu benar-benar telah menjadi sesuatu pun, orang dengan
mudah menyatakan identitas nya melalui suatu petanda (semu). Dalam
posisi demikian, proses “menjadi” bukanlah suatu hal yang perlu usaha
keras. Aku mencoba melihat kemungkinan “menjadi” dalam ranah media
sosial untuk digunakan sebagai modus berempati. Sekadar mencoba peka
terhadap hal-hal di luar pengalaman dan kebiasaan diri. Bersimulasi
menjadi hal lain, terutama makhluk hidup selain manusia. Dengan asumsi,
bahwa mereka sebenarnya pun juga berekspresi dan berinteraksi satu sama
lain, dengan bahasa nya masing-masing. Simulasi Menjadi mencoba
menerjemahkan bahasa tersebut dalam media social sebagai suatu
uneg-uneg.
Dalam karya ini, aku mengajak sukarelawan untuk berpartisipasi dalam proses “menjadi”, yaitu Arso, Fitria, dan Daya. Mereka diminta menjadi empat zat, yaitu air, api, tanah, udara dan mencoba menyampaikan uneg-uneg nya dalam media social (facebook). Partisipan akan membuat akun facebook yang terhubung satu sama lain. Wujud karya ini berupa copy link dari halaman beranda dari keempat akun tersebut. Karya ini tetap akan terjadi bias subyektifitas dari tiap orang dalam berperan menjadi empat zat tersebut. Namun tidaklah mengapa, karena ini sekadar upaya sederhana untuk belajar menjadi makhluk lain selain manusia dalam proses berkehidupan bersama.
SAIFUL BACHRI Pedagang kaos keliling
Langganan:
Postingan (Atom)