Kamis, 22 Januari 2015

Vol. 2 Aku Mengupload Maka Aku Ada

Daftar Isi:
My Temptation oleh Khalid Hidayat
Story of the Box oleh Bondan Peksojandhu
Monggo Pinarak oleh Saiful Bachri
Simulasi Menjadi oleh Saiful Bachri
Upload Teman, Lupa Teman oleh Adam Warhole
Diunggahne oleh BS Wirawan
Candu Popularitas oleh Zakiah Derajat


Manifesto Generasi Upload dan catatan-catatan reflektif tentangnya.

Jangan sampai traveling tanpa membawa ponsel.
Sangat sulit membayangkan melakukan perjalanan tanpa memamerkannya ke orang lain. Kini mungkin tidak penting lagi pemandangan apa yang dilihat oleh mata kita. Jauh lebih penting memikirkan pemandangan apa yang berhasil dijepret oleh kamera di ponsel kita. Tentunya dengan wajah kita sebagai latar depannya. Foto lebih penting daripada oleh-oleh. Blog telah memungkinkan kita menceritakan seluruh perjalanan kita, seolah-olah sang petualang bisa memberi inspirasi bagi para pembaca. Teknologi GPS dan media sosial seperti foursquare menjadi kebanggan karena merekam jejak-jejak perjalanan. Cek in kini bukan melulu istilah di lobi hotel.

Hindari berteman atau di-follow oleh orang tua.
Katanya medsos membuat mereka bisa menjadi diri sendiri apa adanya. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud menjadi diri sendiri apa adanya? Medsos memungkinkan terciptanya ruang alternatif untuk mengekspresikan diri. Kita menyortir siapa yang menjadi teman di medsos. Kita tidak mau lagi disensor, karena sensor adalah kerjaan kelompok-kelompok tertentu di ruang nyata. Di ruang maya ada aturan main mengenai norma yang berbeda. Semua tergantung siapa yang bisa membaca status ataupun tweet kita. Tidak heran kita banyak menemui orang-orang IOEO (Introvertly Offline but Extrovertly Online) alias orang yang pendiam di dunia nyata namun cerwet di dunia maya.

BerdoaMotret sebelum makan.
Meski terlalu berlebihan untuk menyebut media sosial menyetir aktivitas kita, mungkin pernyataan itu ada benarnya. Instagram tiba-tiba membuat semua orang jadi food-stylish. Makanan di meja makan ruamah pun mendadak estetis, tertata rapih, clean, layaknya pesanan di restoran mewah. Lain lagi yang kita lakukan ketika sajian diantar pramusaji di meja kafe. Stop, jangan makan dulu, foto dulu. Seolah-olah semua percaya pada slogan “Kamu adalah apa yang kamu makan”. Kita mulai sedikit tidak perduli pada rasa ataupun aroma. Makanan sekarang adalah melulu soal visual. Mungkin semua juga gara-gara acara Masterchef dan kontes masak di televisi lainnya. Dan indomie pun kini tersaji persis seperti apa yang terlihat di bungkusnya.

Gunakan ikon, smiley, atau stiker dalam medsos sebagai bahasa baru dalam chat.
Teknologi dalam ruang-ruang maya menawarkan bahasa-bahasa baru yang terangkum dalam ikon atau simbol visual. Awalnya mungkin hanya smiley-smiley sederhana dari Yahoo, sampai kini muncul aplikasi chating seperti Line yang penuh dengan karakter dengan berbagai posenya. Ekspresi yang diungkapkan lewat sebuah figur tidak lagi sekedar ekspresi emosi senang dan sedih. Mulai dari tertawa ngakak terguling-guling hingga sedih karena kesepian pun bisa diungkapkan dengan sekali klik. Teknologi memberikan kepraktisan, kesimpelan, serta keminimalisan yang sekaligus membuat kita untuk terus menerus belajar bahasa.

Bawa tongsis kemana-mana. Ketika memakai berfesyen, foto seluruh badan.
Kalau tidak salah, beberapa waktu lalu ramai tersebar berita mengenai tongsis yang pernah masuk ke dalam list penemuan gagal Jepang tahun 1990-an. Nyatanya kini tongsis diedarkan di wahana wisata nyaris mirip penjaja foto polaroid langsung jadi zaman dahulu. Selfie menjadi kata terpopuler tahun 2014 versi media global. Banyak yang melihat gejala narsistik dalam selfie. Tapi lebih dari itu, perlu juga dipikirkan gejala meng-upload foto tubuh yang ditawarkan teknologi. Hal ini turut berdampak pada aktivitas fesyen yang bisa dilakukan semua orang. Kamu tidak sekedar wajahmu, tapi kamu juga adalah apa yang kamu kenakan.

Terkadang tidak penting siapa temanmu, tapi di mana kamu berteman.
Siklus timbul tenggelamnya satu medsos ke yang lain mungkin perlu juga dipandang dari sejauh mana industri teknologi dan basis bisnis di baliknya. Friendster yang mungkin menjadi induk semua ini untuk kita di Indonesia sekarang mungkin tidak dikenal oleh generasi yang mengantongi Android di sakunya. Facebook sign in, facebook sign out. Twitter log in, twitter log out. Tiba-tiba instagram dan path merajai ruang di mana kita harus berkumpul. Kita serentak berpindah kamar, meski dengan kawan dan interaksi yang itu-itu saja.

Like some posts dan kamu lebih berguna untuk orang lain.
Dengan fitur like, vote,  ataupun sejenisnya, medsos menawarkan bentuk dukungan dengan cukup menekan sekali klik. Hal ini melahirkan apa yang disebut aktivis internet di mana duduk di depan komputer dianggap sudah cukup mampu melakukan perubahan sosial. Apalagi sekarang berita di televisi dan koran mulai kekurangan bahan sehingga membahas fenomena-fenomena besar di dunia maya dan mengaburkan batasan antara gerakan massal yang turun ke jalan dan yang di balik monitor. Problemanya adalah dunia maya ditinggali oleh akun-akun. Sebagian mungkin benar-benar satu orang satu akun. Sementara tidak dipungkiri yang ada adalah satu orang seratus akun.

Tinggalkan pesan terakhir sebelum mati.
Internet memungkinkan kita untuk membuat catatan-catatan sekecil dan sepribadi apapun untuk menjadi konsumsi publik. Tidak asing lagi setiap peristiwa kematian akan memancing media massa untuk membahas apa status ataupun tweet terakhir korban. Kecenderungannya, semua catatan terakhir korban di akunnnya dianggap sebagai pesan terakhir yang sengaja ditinggalkan. Kini nampaknya nyaris tidak ada orang yang bunuh diri sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan terakhir.

Meme adalah bentuk seni paling kontemporer.
Salahkan situs 9gag ataupun adaptasi Indonesia-nya 1cak yang mempopulerkan meme. Meme yang dicirikhaskan sebagai imaji visual sederhana namun mampu membawa pesan parodi. Teknologi oleh digital yang makin merebak membuat meme menjadi bentuk olah visual yang bisa dibuat banyak orang dan dipublikasikan untuk diakses publik. Sebagian menganggap meme adalah peralihan estetika yang semakin menjadi menjijikkan. Namun, sebagian lain justru melihat maraknya meme adalah bentuk demokratisasi seni.

Mengupload sebagai perlombaan membentuk identitas.
Pada akhirnya, kami menawarkan satu perspektif untuk melihat budaya upload ini. Yakni sebagai sarana pembentukan identitas. Mengupload mungkin tidak bisa membuat kaya, namun setidaknya membuat si pengupload terlihat kaya. Semua bisa menunjukkan apa yang ia kenakan, apa yang ia makan, ke mana ia pergi, ataupun dengan siapa ia saat ini. Lima seniman dalam wokeiki vol. 2 ini berusaha menafsirkan gagasan di atas dalam kacamata dan pengalamannya masing-masing. Adam berusaha menginterogasi interaksi online dan offline pada budaya upload. BS memilih untuk mengungkap filosofi kata upload secara parodik. Saiful mengakat wacana kaburnya batasan privat dan publik dalam budaya ini serta kemungkinan akun mengakomodir suara alam. Bondan bereksperimen mencari tahu bagaimana ketika memindahkan inti budaya upload ke dunia offline. Sementara Khalid mencoba melihat medsos dan efek sampingnya. Terakhir, volume ini menghadirkan karya seorang kontributor, Zaki, berupa sebuah cerpen yang mengulik psikologis generasi upload.

Irham N. Anshari
Editor

WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni kontemporer (contemporary art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com

My Temptation


KHALID HIDAYAT, seorang hobbyist penikmat komik. Saat ini mencoba aktif berkegiatan di Unit Seni Rupa UGM

Story of the Box





Catatan Peneliti/Seniman:
Story of the feeling box

…. Ketika kita pergi ke suatu tempat dan pergi ke WC umum akan banyak coretan-coretan di dinding, lalu kita membayar dengan recehan kertas yang tertulis coretan puisi di atasnya…

Alasan apa yang di pakai ketika seseorang mengunggah tulisan di media social? Apakah hanya sekedar sarana berekspresi atau hanya ingin diperhatikan atau yang lainnya? Sebenarnya sangat banyak motivasi yang mendasari seseorang dalam mengunggah atau membagikan tautan kepada khalayak maya di media sosial. Motivasi seseorang dalam berkecimpung di dunia media social sangat kompleks, akan adabanyakpembagian yang saling berpotongan satu sama lain.

Kebutuhan berekspresi?

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang suka bercerita, bercerita tentang makanan yang enak menurut dirinya, kondisi social dan pemerintahan yang ideal menurut dirinya, film atau lagu yang keren menurut dirinya, gadis/pria idaman versi dirinya, dsb yang intinya ada pada bercerita tentang sesuatu yang ideal menurut dirinya. Mereka berusaha menangkap dan menyampaikan sesuatu yang ideal dan mengunggahnya dalam berbagai bentuk seperti status, tautan, artikel, gambar, foto, video, dsb. Banyak kebingungan terjadi apakah mereka sudah mencapai hirarki kebutuhan paling akhir dari teori hirarki Maslow atau hanya diri ideal mereka saja yang sudahmencapainya. Memang idealnya, semua manusia akan berusaha mencapai hirarki terakhir tersebut, namun di era media social ini banyak pengaburan identitas real self dan ideal self pada penggunanya. 

“Semua membicarakan realita, padahal itu realita versi mereka sendiri”
Anonym

Lelehnya Hirarki Maslow
Tidak tanpa alasan mereka menciptakan ideal self di media sosial. Banyak sekali penghuni di dalamnya, semua memiliki persepsi masing-masing maka dari itu ideal self diharapkan mampu membentuk perceptual set kepada pengguna lainnya. Hal ini berkaitan dengan motivasi lain mengapa seseorang mengunggah sesuatu ke media sosial. Dengan diterbitkannya ideal self tersebut, diharapkan akan mampu mendapat banyak atensi dari pengguna lainnya. Atensi positif berupa ‘like/love/+’ akan mampu menaikkan self-esteem si pengunggah (bahkan membuat sakau), begitu juga sebaliknya, dengan sedikitnya respon positif dan banyaknya komentar negatif akan menurunkan self-esteem bahkan (lebih parahnya) membuat depresi si pengunggah. Atau ketika membandingkan self-self dengan pengguna lainnya akan sangat riskan mempengaruhi self-esteem. Hal tersebut merupakan sesuatu yang kerap ditemui di era deras informasi, hingga pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi diri untuk membentuk kembali self-image yang baru yang nantinya akan berkaitan dengan social acceptance dan self acceptance. Mungkin hal-hal ini tidak akan terjadi pada orang yang benar-benar self actualized (menurut Maslow, seorang yang sudah mencapai self actualized tidakmemerlukan atensi dalamperilakunya).
 
Hukum Grativasi Mainstream
Banyak cara untuk menarik atensi dan diterima masyarakat media sosial, dimana seseorang benar-benar berkompromi melawan diri idealnya dan sengaja memunculkan sisi real self sehingga dapat memancing atensi dari pengguna lain. Berbeda dengan unggahan pada paparan di paragraph sebelumnya, atensi yang diharapkan disini lebih pada atensi seperti dikasihani, dihibur, didukung dan sebagainya. Semua orang ingin ceritanya didengar entah itu sedih atau bahagia, kesesuaian ekspektasi akan respon yang didapat adalah kebahagiaan tersendiri. Pada tahap selanjutnya, segala bentuk  atensi akan berpotensi berkembang menjadi sarana untuk membentuk hubungan kasih sayang, persahabatan, dan mencari pasangan. Siapa diri kita di dunia maya terbentuk oleh orang-orang yang ada di dalamnya.

Tidak semua pengunggah belum mencapai self idealnya dan tidak semua pengunggah seluruhnya telah mencapai self idealnya. Disinilah ruang yang dimanfaatkan media sosial untuk terus ada.Seiring rasa sadar akan posisi media sosial dengan posisi dirinya, pada level berikutnya akan ada social influence yang nantinya menjadikan media sosial sebagai ajang berpolitik.

"di dunia maya kamu bisa menjadi siapa saja, rugi amat kalojadi diri sendiri"
(Herlina Dilanea, 2010)

Berekspresi dengan ‘tulus’?

Pada proyek  Story of The Feeling Box ‘ akan mencoba mencari tahu motivasi dasar para pengunggah di media sosial. Apakah benar jika mereka hanya sekedar ingin mengekspresikan sesuatu atau mengharap timbal balik? Adakah perbedaannya?

Feeling box akan diletakkan di tempat-tempat publik dengan menyediakan kertas kosong diatasnya, siapapun dibebaskan untuk menulis dan mengisinya. Feeling box ini diciptakan rahasia dimana kamu bisa mengungkapkan apapun di dalamnya tanpa diketahui orang lain kecuali si pembuat kotak ini. Siapa pembuat kotak ini? Misterius! 

“Boxes are particularly useful in art therapy due to their innate capacity to protect and preserve contents, create a safe space within the enclosure to explore and address feelings and/or fears, as well as join opposing parts of self - a frequent therapeutic goal. “ (Farrell-Kirk, 2001; Kaufman, 1996)

Kotak ini mirip dengan terapi PSHE untuk anak-anak di dalam suatu kelas milik Randy .MGold, yaitu suatu terapi yang bertujuan melatih anak agar mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Selain itu mirip juga dengan terapi untuk mengurangi depresi pada usia remaja dan dewasa awal, terapi ini menggunakan kotak diletakkan di suatu tempat yang agak jauh kemudian saat subjek ingin mengisi kotak tersebut harus pergi kesana dan mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. 

Rancangan Feeling Box
Hal yang membedakan dari kotak yang dijelaskan di atas, feeling box ini adalah milik publik, milik bersama, dan siapapun boleh mengisinya tanpa tahu siapa pembuat kotak tersebut. Hal ini dilakukan guna menghindari adanya transferensi dengan si pembuat kotak tersebut. Diharapkan mereka tidak akan ragu mengungkapkan inner feeling mereka tanpa takut dijudge oleh orang lain.





“hei cobalah kau keluarkan apa yang kau fikirkan, terus teranglah
Jika tak bisa diucapkan cukuplah dituliskan saja
Yang ingin disampaikan, yang ingin diucapkan,”
(#np kokoro no placard, JKT48)

Proyek ini sangat menarik mengingat perancangan untuk proyek ini dilakukan di dunia maya dan akan dipublikasikan di dunia maya juga. Proyek ini terasa seperti Martian Curiosity-nya NASA yang sedang observasi di dunia sana yang ironisnya sejatinya adalah dunia nyata kita sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri kita sedang hidup di mana dunia maya sangat erat (bahkan tumpang tindih) dengan kehidupan kita.


Bekas mahasiswa psikologi, pecinta lawan jenis dan desain grafis, bystander peradaban, aku BONDAN PEKSOJANDU, dukung aku ya!

Monggo Pinarak

Karya ini mewacanakan batas arena publik dan yang privat semakin samar dalam dunia maya, yang privat jadi publik dan sebaliknya. Saiful Bahcri berargumen mengenai batas nyata adalah kesadaran diri untuk memperlakukannya sebagai suatu nilai guna bagi diri ataupun orang lain, tidak sekadar larut dalam hiruk pikuk sesaat. Dalam karya ini Saiful membuat sebuah pola berhiaskan karya lukisnya. Pola ini direncanakan untuk dibuat sebagai sprei atau taplak meja yang biasanya berada di wilayah batas privat dan publik.

SAIFUL BACHRI, pedagang kaos keliling,
penyuka roti yang suka menggambar di kala luang, aktif di USER UGM.

Simulasi Menjadi

Search Facebook User:
Udara Udara
Kangmas Banyu
Api Api
Tanah Tanah

Catatan Peneliti/Seniman:
Media Sosial memungkinkan seseorang untuk menjadi apa dan siapa dalam sekejap. Tanpa perlu benar-benar telah menjadi sesuatu pun, orang dengan mudah menyatakan identitas nya melalui suatu petanda (semu). Dalam posisi demikian, proses “menjadi” bukanlah suatu hal yang perlu usaha keras. Aku mencoba melihat kemungkinan “menjadi” dalam ranah media sosial untuk digunakan sebagai modus berempati. Sekadar mencoba peka terhadap hal-hal di luar pengalaman dan kebiasaan diri. Bersimulasi menjadi hal lain, terutama makhluk hidup selain manusia. Dengan asumsi, bahwa mereka sebenarnya pun juga berekspresi dan berinteraksi satu sama lain, dengan bahasa nya masing-masing. Simulasi Menjadi mencoba menerjemahkan bahasa tersebut dalam media social sebagai suatu uneg-uneg.





Dalam karya ini, aku mengajak sukarelawan untuk berpartisipasi dalam proses “menjadi”, yaitu Arso, Fitria, dan Daya. Mereka diminta menjadi empat zat, yaitu air, api, tanah, udara dan mencoba menyampaikan uneg-uneg nya dalam media social (facebook). Partisipan akan membuat akun facebook yang terhubung satu sama lain. Wujud karya ini berupa copy link dari halaman beranda dari keempat akun tersebut. Karya ini tetap akan terjadi bias subyektifitas dari tiap orang dalam berperan menjadi empat zat tersebut. Namun tidaklah mengapa, karena ini sekadar upaya sederhana untuk belajar menjadi makhluk lain selain manusia dalam proses berkehidupan bersama.

SAIFUL BACHRI Pedagang kaos keliling

Upload Teman, Lupa Teman


Karya ini berangkat dari kenyataan yang dialami Adam sendiri, dan hampir menyaksikannya
setiap hari. Menurutnya para pelaku sosmed kerap kali update serta upload fotonya
bersama teman-teman mereka, entah itu saat berpiknik, main bareng, makan
bareng, reuni dan semacamnya. Tapi Adam menyayangkan, pada kenyataan yang ia lihat dan alami, di saat para manusia berkumpul dengan teman-temannya mereka malah
asyik dengan gadgetnya masing-masing: mengupload dan upload, baik lewat
instagram, fb, twitter dan sejenisnya. Apa yang digagas Adam adalah citra dalam dunia maya tidak semata-mata merepresentasikan dunia nyata. Keduanya memiliki dua realitas sendiri. Adam yang kerap bermain dengan cat air dan tinta, kali ini mengolah ulang karyanya secara digital.

ADAM WARHOLE (Adam Ardiansyah) fanatik dengan cat air dan tinta. Freelancer tukang bikin desain kaos dan pelukis wajah (orang lain). Atif di USER dan Gerbang Rupa.

Diunggahne





BS dalam seri kartun ini mencoba bermain-main dengan kata "upload". Kata "upload" yang berasal dari bahasa Inggris telah di-EYD-kan menjadi "unggah". Unggah merupakan suatu kata dalam bahasa Jawa yang dapat diartikan sebagai naik. Barang-barang serta hal-hal "diunggahne" di tempat yang lebih tinggi agar dapat terlihat oleh khalayak. Analogi ini coba ditransfromasikan dalam situasi di mana budaya dunia maya diaplikasikan ke dunia nyata.

BS WIRAWAN lahir 24 Agustus 1988 dengan nama pemberian dari orang tua Bagus Suryo Wirawan. Mulai menyukai dunia ureg-ureg sejak sebelum masuk TK. Sempat sejenak ngicipi dunia teater selama SMA dan kuliah, hingga akhirnya sekarang kembali menjadi tukang ureg-ureg.

Candu Popularitas

Aku sedang duduk sendiri, membaca. Di sebuah kantin yang tak begitu luas, hanya 6 meja besar yang masing-masing berkapasitas 8 tempat duduk. Formasi yang terlihat sedikit dipaksakan, tak bisa kubayangkan bila 48 orang lebih bersama berada di sini. Bukan hanya masalah dempet-dempetan-nya, namun pastilah akan sangat bising dan seluruhnya akan panas berkeringat! Ah, sudahlah, bayangan ini akan menyakitkan bila diteruskan..

7 kursi di sekeliling mejaku kosong, hanya aku sendiri, namun itu tadi. Barusan saja ada seorang perempuan membawa sepiring makanannya, dengan segelas es jeruk, memilih salah satu tempat duduk satu meja denganku. Kami persis berseberangan secara diagonal. Aku takluk pada bacaanku – pura-pura takluk, karena suara itu kemudian menggangguku. “Ckrik” – perempuan ini baru saja mengambil gambar sepiring makanannya dengan kamera yang ada di ponsel mininya. Sedikit demi sedikit kuintip. Kurasa nasi yang ada di depannya mulai menjadi muram. Belum juga disentuh oleh si pemilik. Seorang di baliknya lebih memilih berkonsentrasi pada ponsel mininya. Pasti sedang mengunggah sesuatu, batinku. Ambil gambar dan unggah, ambil gambar dan unggah. Begitulah jaman sekarang. Sepiring menu makan siang pun jadi komoditas popularitas. Ah, betapa muram wajah nasi itu, diabadikan bukan karena kehaibatannya. Ia diabadikan hanya sebagai alat ketenaran.

Tapi pada akhirnya diletakkannya benda kecil itu. Perhatiannya teralih pada sumber energi di depannya. Suap demi suap.  Namun lagi, yang di dalam ponsel seakan lebih mengenyangkan. Perhatiannya lamat-lamat kembali terfokus pada kotak mini itu. Ah, betapa manusia. Maya pun dipuja-puja.

Kantin mulai meriuh. Kutengok jam tanganku: 12.05, waktu para karyawan istirahat. Jelaslah bising mulai menggema, walau bukan berarti semua kursi penuh terisi. Kebanyakan dari mereka makan siang bergerombol bersama kelompok masing-masing. Bergilir mengambil makan lalu duduk bersama, beritual makan siang. Individu-individu ini mengisi meja lain. Partner semejaku sedang asyik mengunyah sembari sekali-sekali tersenyum pada layar kecil di tangannya. Kucoba fokus kembali pada bacaan, namun percuma. Bincang-bincang di seberang-seberang sana lebih riuh. Dari seberang kiriku, kuota kursi sudah penuh terisi, semuanya perempuan, menu makan siangnya lengkap dengan obrolan. Di seberang depanku terdapat dua meja, kombinasinya campur antara karyawan laki-laki, karyawan perempuan, dan kursi kosong. Sebagaimana pun kombinasinya, tetap saja obrolan merupakan menu pelengkap makan siang mereka – atau jangan-jangan malah menu utama? Namun jelas, kekompakan riuh itu mau tak mau akhirnya membuat hatiku tersenyum juga. Hangat bila dirasa. Seakan penat terlepas dalam harmoni makan siang ala kekeluargaan. Satu bercerita, satu menanggapi, ganti bercerita, tertawa, tersenyum, manggut-manggut. Semuanya dilakukan di sela-sela mengunyah, menyuap, meneguk, menelan. Bagi mereka makan siang adalah ritus. Ritus berkawan sekaligus menguapkan penat. Ritus makan tak lagi berarti khusyuk menghadap nasi dan larut dalam proses melumatnya habis. Ah, aku lupa, mana ada ritus seperti itu di jaman modern seperti ini? Makan sudah bukan lagi kebutuhan utama. Kesehatan jiwa lebih penting untuk era kali ini. Sosialisasi pun menjadi sangat populer.

12.15. Perempuan satu mejaku menyelesaikan makannya, menggeser kursi, melewatiku, lalu pergi meninggalkan kantin. Aku mencoba kembali pada bacaan. Hanya lima menit saja bertahan. Mejaku mendapat teman lagi. Kali ini dua. Sepasang karyawan laki-perempuan yang saling berteman. Sesama karyawan muda kulihat. Yang perempuan memakai kerudung dengan gaya yang sudah mulai usang namun sedikit dikombinasikan dengan gaya baru sehingga tampak tak begitu kemarin. Sejak dalam arahnya berjalan menuju meja ini, si perempuan sudah merenggut kejenakkan membacaku. Suaranya lantang menggelegar. Matanya tak begitu fokus melihat lawan bicaranya. Sesampainya perempuan tersebut di tempat duduknya, terpaut dua kursi di sebelah kananku, ia semakin menjadi. Seakan tak ingin kalah oleh suara-suara riang dari seberang. Ah, perempuan muda ini keterlaluan. Hanya untuk menanggapi pertanyaan kecil teman prianya, mengapa harus menggunakan nada manja semenggelegar itu? Sebegitu parahnya kah hasrat ingin-dikenal-publik-nya? Hentikan, Nona... Hentikan, Nona...

Lalu aku pun memutuskan menutup buku, menyeruput sisa es susu kopiku hingga kandas, kemudian segera bergegas. Inginnya memang demikian. Namun obrolan dua muda-mudi itu membuat diriku mengurungkan rencana barusan. Niatku tertahan demi bahasan tersebut. Mereka sedang membicarakan terror yang melanda kota seminggu terakhir ini. Isu tentang bagaimana sebuah isi poster dapat mengganggu stabilitas kedirian sebuah masyarakat. Nona muda itu mulai memainkan nada dalam bicaranya, menampilkan efek dramatis untuk kawan prianya. Aku menyibukkan diri dengan mengeluarkan gelas minumku sendiri dari dalam tas, menyesal telah mengandaskan porsi minum yang kupesan sebelumnya. Kembali aku pura-pura membaca dan lebih merilekskan dudukku. Jelas kutangkap kalimat mereka, membahas poster-poster yang tertempel di ruang publik. Poster-poster yang meresahkan. Diselingi kunyahan, mereka berdua berdiskusi dengan semangat. Sesekali aku ikut larut dalam bahasan mereka. Pura-puraku lengkap terfokus pada buku di tangan. Dan telingaku tersisa hanya untuk perbincangan dari sisi kananku tersebut.

“Poster-poster itu kurang ajar! Segamblang itu dipasang di tempat umum!”, seru si nona muda. “Ya, aku tahu. Aku melihatnya di perempatan jalan, bahkan hari Minggu kemarin kulihat juga di mall. Malah Pak Suro melihat satu di papan pengumuman kantor, yang lalu dirobeknya habis-habisan. Poster itu sungguh tidak manusiawi”, giliran yang laki-laki bicara. 

Kunikmati bagaimana mereka menutur kalimat masing-masing. Khusuk dan syahdu aku menikmatinya, tak ingin ketinggalan barang satu kata pun. Poster-poster tanpa nama telah tersebar di seantero kota. Dan resah melanda masyarakat karena poster-poster tersebut berisi gambar mengerikan. Nona muda di sebelah kananku mengatakan pertama kali melihat poster tersebut di salah satu tembok di gang rumahnya. Lima tertempel berisi gambar berbeda bernada sama. Gambar kucing atau anjing yang tercetak pada kertas ukuran A4. Kucing atau anjing yang mati tersiksa. “Aku ngeri banget lihat darahnya yang tercecer! Belum lagi di bulunya! Ya ampun siapa sih yang nyebarin poster begituan!”, katanya. Teman laki-lakinya menyatakan betapa ia ingin muntah ketika melihat poster tersebut di mal. Yang ia lihat adalah poster seekor kucing tiga warna, tergeletak mati berdarah-darah, dan isi perutnya sudah semburat tercecer di sekitar abdomennya. “Sungguh sadis..”, lanjutnya. “Bu Rita gaduh di kantor pagi ini. Katanya tadi malam ia sekeluarga melihat sekitar sepuluhan poster, banyak lah pokoknya, di parkiran restoran depan kantor Bupati. Bayangin dong, anaknya bu Rita dua-duanya masih kecil, enam sama sembilan tahun. Pas di restoran bu Rita bingung, anaknya gak mau makan. Pas pulang rewel gak bisa tidur”, nona muda kembali bercerita.

Aku tersenyum di balik bacaanku, kali ini terfokus pada diriku sendiri. Jadi semuanya sudah dibikin gaduh oleh poster itu. Kota sedang riuh berbincang tentang ini. Bisa jadi obrolan-obrolan yang sering diselingi tawa di meja seberang juga sedang membahas hal yang serupa. Senyumku semakin mengembang. Kututup bacaanku, dan besertanya kukemasi tempat minum ke dalam tasku. Aku harus segera bergegas pulang, segera bergegas membuka layar komputer dan harus mampir kios baca untuk beli koran lokal. Aksiku menyebarkan kegaduhan pasti sudah bertebaran di seantero dunia maya dan di koran itu. Ya, memang akulah dalang di balik poster-poster mengerikan tersebut. Sudah kusuruh orang-orangku menyebarkan ke seantero kota. Tentu dengan profesionalitas yang tinggi sehingga tak bisa diketahui siapa yang memasang. Bahkan CCTV pun luput. Aku adalah dalang, dan tak sabar aku melihat media sedang membicarakan diriku. Malam ini aku akan tertidur pulas di tengah riuhnya kota yang membicarakanku.

Dengan senyum kemenangan, aku melangkah pergi meninggalkan kantin yang masih bising itu.


ZaAKIAH DERAJAT, mahasiswa Kajian Budaya dan Media UGM. Salah satu tulisannya pernah memenangkan lomba esai mengenai seni rupa. Kini sedang menulis tesis tentang JKT 48, sembari menimbang keputusan untuk menjadi peneliti atau penulis fiksi. Bisa dikontak di zakiyah.derajat@gmail.com