Daftar Isi:
My Temptation oleh Khalid Hidayat
Story of the Box oleh Bondan Peksojandhu
Monggo Pinarak oleh Saiful Bachri
Simulasi Menjadi oleh Saiful Bachri
Upload Teman, Lupa Teman oleh Adam Warhole
Diunggahne oleh BS Wirawan
Candu Popularitas oleh Zakiah Derajat
Manifesto Generasi Upload dan catatan-catatan reflektif tentangnya.
Jangan
sampai traveling tanpa membawa ponsel.
Sangat sulit membayangkan melakukan perjalanan
tanpa memamerkannya ke orang lain. Kini mungkin tidak penting lagi pemandangan
apa yang dilihat oleh mata kita. Jauh lebih penting memikirkan pemandangan apa
yang berhasil dijepret oleh kamera di ponsel kita. Tentunya dengan wajah kita
sebagai latar depannya. Foto lebih penting daripada oleh-oleh. Blog telah
memungkinkan kita menceritakan seluruh perjalanan kita, seolah-olah sang
petualang bisa memberi inspirasi bagi para pembaca. Teknologi GPS dan media
sosial seperti foursquare menjadi kebanggan karena merekam jejak-jejak
perjalanan. Cek in kini bukan melulu istilah di lobi hotel.
Hindari
berteman atau di-follow oleh orang
tua.
Katanya medsos membuat mereka bisa menjadi diri
sendiri apa adanya. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud menjadi diri sendiri apa
adanya? Medsos memungkinkan terciptanya ruang alternatif untuk mengekspresikan
diri. Kita menyortir siapa yang menjadi teman di medsos. Kita tidak mau lagi
disensor, karena sensor adalah kerjaan kelompok-kelompok tertentu di ruang
nyata. Di ruang maya ada aturan main mengenai norma yang berbeda. Semua
tergantung siapa yang bisa membaca status ataupun tweet kita. Tidak heran kita
banyak menemui orang-orang IOEO (Introvertly Offline but Extrovertly Online)
alias orang yang pendiam di dunia nyata namun cerwet di dunia maya.
Meski terlalu berlebihan untuk menyebut media
sosial menyetir aktivitas kita, mungkin pernyataan itu ada benarnya. Instagram
tiba-tiba membuat semua orang jadi food-stylish. Makanan di meja makan ruamah
pun mendadak estetis, tertata rapih, clean, layaknya pesanan di restoran mewah.
Lain lagi yang kita lakukan ketika sajian diantar pramusaji di meja kafe. Stop,
jangan makan dulu, foto dulu. Seolah-olah semua percaya pada slogan “Kamu
adalah apa yang kamu makan”. Kita mulai sedikit tidak perduli pada rasa ataupun
aroma. Makanan sekarang adalah melulu soal visual. Mungkin semua juga gara-gara
acara Masterchef dan kontes masak di televisi lainnya. Dan indomie pun kini
tersaji persis seperti apa yang terlihat di bungkusnya.
Gunakan
ikon, smiley, atau stiker dalam medsos sebagai bahasa baru dalam chat.
Teknologi dalam ruang-ruang maya menawarkan
bahasa-bahasa baru yang terangkum dalam ikon atau simbol visual. Awalnya mungkin
hanya smiley-smiley sederhana dari Yahoo, sampai kini muncul aplikasi chating
seperti Line yang penuh dengan karakter dengan berbagai posenya. Ekspresi yang
diungkapkan lewat sebuah figur tidak lagi sekedar ekspresi emosi senang dan
sedih. Mulai dari tertawa ngakak terguling-guling hingga sedih karena kesepian
pun bisa diungkapkan dengan sekali klik. Teknologi memberikan kepraktisan, kesimpelan, serta keminimalisan yang
sekaligus membuat kita untuk terus menerus belajar bahasa.
Bawa tongsis kemana-mana. Ketika memakai
berfesyen, foto seluruh badan.
Kalau
tidak salah, beberapa waktu lalu ramai tersebar berita mengenai tongsis yang
pernah masuk ke dalam list penemuan gagal Jepang tahun 1990-an. Nyatanya kini
tongsis diedarkan di wahana wisata nyaris mirip penjaja foto polaroid langsung
jadi zaman dahulu. Selfie menjadi kata terpopuler tahun 2014 versi media
global. Banyak yang melihat gejala narsistik dalam selfie. Tapi lebih dari itu,
perlu juga dipikirkan gejala meng-upload foto tubuh yang ditawarkan teknologi. Hal
ini turut berdampak pada aktivitas fesyen yang bisa dilakukan semua orang. Kamu
tidak sekedar wajahmu, tapi kamu juga adalah apa yang kamu kenakan.
Terkadang tidak penting siapa temanmu, tapi
di mana kamu berteman.
Siklus
timbul tenggelamnya satu medsos ke yang lain mungkin perlu juga dipandang dari
sejauh mana industri teknologi dan basis bisnis di baliknya. Friendster yang
mungkin menjadi induk semua ini untuk kita di Indonesia sekarang mungkin tidak
dikenal oleh generasi yang mengantongi Android di sakunya. Facebook sign
in, facebook sign out. Twitter log in, twitter log out. Tiba-tiba instagram dan
path merajai ruang di mana kita harus berkumpul. Kita serentak berpindah kamar,
meski dengan kawan dan interaksi yang itu-itu saja.
Like some posts dan kamu lebih berguna
untuk orang lain.
Dengan fitur like,
vote, ataupun sejenisnya, medsos
menawarkan bentuk dukungan dengan cukup menekan sekali klik. Hal ini melahirkan
apa yang disebut aktivis internet di mana duduk di depan komputer dianggap
sudah cukup mampu melakukan perubahan sosial. Apalagi sekarang berita di
televisi dan koran mulai kekurangan bahan sehingga membahas fenomena-fenomena
besar di dunia maya dan mengaburkan batasan antara gerakan massal yang turun ke
jalan dan yang di balik monitor. Problemanya adalah dunia maya ditinggali oleh
akun-akun. Sebagian mungkin benar-benar satu orang satu akun. Sementara tidak
dipungkiri yang ada adalah satu orang seratus akun.
Tinggalkan
pesan terakhir sebelum mati.
Internet memungkinkan kita untuk membuat
catatan-catatan sekecil dan sepribadi apapun untuk menjadi konsumsi publik.
Tidak asing lagi setiap peristiwa kematian akan memancing media massa untuk
membahas apa status ataupun tweet terakhir korban. Kecenderungannya, semua
catatan terakhir korban di akunnnya dianggap sebagai pesan terakhir yang
sengaja ditinggalkan. Kini nampaknya nyaris tidak ada orang yang bunuh diri
sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan terakhir.
Meme adalah
bentuk seni paling kontemporer.
Salahkan situs 9gag ataupun adaptasi Indonesia-nya
1cak yang mempopulerkan meme. Meme yang dicirikhaskan sebagai imaji visual
sederhana namun mampu membawa pesan parodi. Teknologi oleh digital yang makin
merebak membuat meme menjadi bentuk olah visual yang bisa dibuat banyak orang
dan dipublikasikan untuk diakses publik. Sebagian menganggap meme adalah
peralihan estetika yang semakin menjadi menjijikkan. Namun, sebagian lain
justru melihat maraknya meme adalah bentuk demokratisasi seni.
Mengupload sebagai
perlombaan membentuk identitas.
Pada akhirnya, kami menawarkan satu perspektif untuk melihat budaya
upload ini. Yakni sebagai sarana pembentukan identitas. Mengupload mungkin
tidak bisa membuat kaya, namun setidaknya membuat si pengupload terlihat kaya.
Semua bisa menunjukkan apa yang ia kenakan, apa yang ia makan, ke mana ia
pergi, ataupun dengan siapa ia saat ini. Lima seniman dalam wokeiki vol. 2 ini berusaha menafsirkan gagasan di atas
dalam kacamata dan pengalamannya masing-masing. Adam berusaha menginterogasi
interaksi online dan offline pada budaya upload. BS memilih untuk mengungkap
filosofi kata upload secara parodik. Saiful mengakat wacana kaburnya batasan
privat dan publik dalam budaya ini serta kemungkinan akun mengakomodir suara alam. Bondan bereksperimen mencari tahu bagaimana
ketika memindahkan inti budaya upload ke dunia offline. Sementara Khalid
mencoba melihat medsos dan efek sampingnya. Terakhir, volume ini menghadirkan
karya seorang kontributor, Zaki, berupa sebuah cerpen yang mengulik psikologis
generasi upload.
Irham N. Anshari
Editor
WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni kontemporer (contemporary art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com
Irham N. Anshari
Editor
WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni kontemporer (contemporary art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com