Selasa, 30 September 2014

Vol. 1 Mengemas Industri Minuman


Pada program pertama ini, Wokeiki memilih budaya konsumsi minuman untuk diangkat sebagai tema utama. Gagasan awal memilih tema ini tercetus saat kami nongkrong membahas perihal budaya konsumsi terkini. Sadar tak sadar, dalam kegiatan nongkrong itu sendiri (baik yang disebut dengan istiliah rapat atau meeting), kami tak bisa lepas dari mengonsumsi minuman. Rasanya sudah tak wajar untuk bertemu kawan lalu duduk sebatas ngobrol tanpa suguhan minuman. Menariknya, berkembangnya industri minuman membuat konsumsi minuman juga telah banyak berubah. Kini sudah tak asing lagi menyuguhkan tamu di rumah dengan sebuah teh produk kemasan gelas. Meminum jamu pun cukup menyobek sebungkus serbuk dan mencampurnya dengan air panas. Pergeseran budaya mengonsumsi minuman ini menjadi perlu diteliti secara kritis sebagai sebuah refleksi diri menghadapi gempuran industri.

Dengan judul “Vol. 1 Mengemas Industri Minuman”, kami menggagas proyek riset kolaboratif dalam kurun waktu tiga bulan (Juli – September 2014).  Proyek ini berangkat dengan membangun rangkaian diskusi dengan berbagai pihak dari berbagai latar belakang (peneliti budaya, perupa, komikus, desainer grafis, pelukis wajah, dan sutradara) seputar tema yang digagas. Pada akhirnya, empat karya yang telah melalui tahapan riset tersebut dipresentasikan dalam blog ini. Empat karya tersebut bertolak dari sub tema yang digagas serta dikembangkan dengan metode eksperimental oleh masing-masing peneliti/seniman.

Saiful Bachri dalam Komposisi Kopi mencoba merefleksikan kebiasaannya meminum kopi dari kemasan sachet tanpa memahami betul apa yang ia konsumsi. Dengan mengemas ulang produk yang ia minum serta mencatat daftar komposisi yang tertera dalam bungkus kopi, Saiful berusaha menggugat sejauh mana produsen menerangkan pada konsumen zat apa saja yang terkandung dalam produk minuman tersebut. Gagasan ini menarik mengingat bagaimana industri kopi kemasan telah banyak bertransformasi dari minuman yang benar-benar diracik dari buah kopi.

Relasi industri minuman dengan alam coba dipikirkan ulang dalam karya Industreealism karya Bondan Peksojandu. Bondan berusaha mempertanyakan produk-produk minuman yang menggunakan jargon-jargon sebagai produk alami. Jargon-jargon tersebut seolah muncul dari wacana umum bahwa produk alam jauh lebih baik (sehat dan enak) daripada produk industri. Di sini terlihat bagaimana dengan jargon-jargon tersebut, industri berusaha menjadikan produknya tidak berbeda secara substansial dengan produk alam.

Karya Khalid Hidayat merupakan respon langsung dari kebingungannya membicarakan industri minuman. Khalid misalnya menceritakan bagaimana pustaka yang pernah ia baca terkait perkembangan industri minuman cenderung membicarakan indsutri secara hitam-putih. Dalam pustaka dengan persepktif Islam misalnya,  industri minuman seringkali dikecam dengan label agama lain (contoh: Coca cola merupakan produk Yahudi). Karya yang dijuduli Beverage Industries Order ini disajikan dengan ciri khas gambar Khalid yang bewarna dan bertokohkan karakter-karakter ala anime.

Karya terakhir merupakan produk riset Irham N. Anshari pada konstruksi yang dibangun dari sebuah iklan produk teh celup. Irham berusaha memeriksa ulang bagaimana iklan visual sebuah produk minuman telah jauh bergeser dari sekedar menawarkan rasa maupun kandungan dari minuman. Konstruksi dalam iklan visual minuman pun telah berkembang dari sekedar memberi simbol pada minuman tersebut. Dengan melakukan analisis pada iklan Sari Wangi versi TKI, irham berusaha membongkar ideologi mengenai bagaimana aktivitas minum seolah digambarkan sebagai pendamping aktivitas berkumpul.

Dalam perjalanan mendiskusikan perihal budaya konsumsi minuman industri, kami kerap menjumpai pertanyaan, “Apakah budaya konsumsi minuman industri cukup urgent dibicarakan dibanding budaya konsumsi lainnya?” Pertanyaan ini mungkin bertolak dari bagaimana minuman seringkali dianggap sebagai komoditas yang tidak terlalu bermasalah. Misalnya dengan anggapan bahwa harga minuman cenderung jauh lebih murah dibanding komoditas lainnya dan minum merupakan kebutuhan pokok manusia. Dengan proyek yang kami gagas ini, kami mencoba menawarkan wacana-wacana seputar budaya konsumsi minuman industri yang seringkali tak disadari merupakan sebuah dominasi yang layak dikritisi.
 
Daftar Karya:
Komposisi Kopi oleh Saiful Bachri
Industreealism oleh Bondan Peksojandu
Beverage Industries Order oleh Khalid Hidayat
Tak Bersari, Tak Mewangi oleh Irham N. Anshari

-------------------------------------------------------------------------------------------------

WOKEIKI adalah sebuah ruang yang mencoba mewadahi irisan aktivitas dari dua disiplin yakni: kajian budaya (cultural studies) dan seni konseptual (conceptual art). Diinisiasi oleh Irham N. Anshari dan Saiful Bachri, ruang ini mengorganisasi program yang bekerja sama dengan berbagai pihak, dari akademisi hingga seniman, untuk melakukan riset dengan metode (baik pencarian, analisis, ataupun penyajian data) yang eksperimental. Surel editor/kurator di wokeitorial@gmail.com

Senin, 29 September 2014

Komposisi Kopi







Wawancara Irham Nur Anshari (INA) dengan Saiful Bachri (SB)

INA     : Karyamu itu kan berbicara soal komposisi dalam minuman kemasan, kira-kira apa problema awal yang mendorong memilih masalah komposisi ini?
SB       : Kesehatan., yang berawal dari kebiasaanku dan mungkin orang-orang pada umumnya yang gemar memimun kopi dalam kemasan (instan), tetapi kurang begitu tahu apa yang sebenarnya ku minum. 
INA     : Jadi mana yang lebih problematik: komposisi zat-zat di dalam minuman instan atau cara tiap produksi menerangkan kepada konsumen zat apa yang mereka konsumsi?
SB       : Yang kedua, cara menerangkan produsen kepada konsumen, penyampaian tentang apa yang sebenarnya terkandung dalam suatu produk industri (minuman kemasan ) amat minim, ya mungkin memang ada dilema tersendiri, mengingat kepentingan mereka (produsen) juga menyangkut laba. Tapi kurasa, perihal produk berkandungan bahan kimia, tidak saja minuman, bahkan obat, amat minim wacana informasi mengenai sebab akibat dari sebuah zat, Itu juga kujumpai pada industri farmasi (obat).
INA     : Kalau di karyamu itu kan keliatan misal ada yang tertulis mengandung beta karoten cl75130, sedetail itu. Sementara yang lain cuma gula, kopi instan, krimer nabati. Separah itu ya informasinya? Tergantung pabrik atau bagaimana?
SB       : Tiap produsen punya cara tersendiri ternyata dalam memberi tahu kandungan komposisi nya. ada yang detil, dengan bahan yang kurang lebih sama, pada beberapa varian produk, pada satu pemegang merk. Tapi ada pula yang mencantumkan informasi umum. Ketika membaca komposisi tiap-tiap merk, terpikir juga sebenarnya ada nggak ya aturan standar dari Badan POM misalnya, mengenai tata aturan dalam memberikan keterangan komposisi pada kemasan minuman? mungkin jikalau dari segi komposisi memang dinilai POM tidak masalah, atau dapat dikonsumsi, pertanyaan ku malah berlanjut papa persoalan intensitas. Bagaimana jika kandungan tertentu pada suatu minuman dikonsumsi secara rutin pada jangka waktu tertentu. karena rata-rata produsen juga akan terus menambah jumlah produksi jika untuk meraup untung, jika begitu. tentu kemungkinan untuk konsumsi secara terus menerus sangat terbuka.
INA     : Apa di kemasan tidak diberi keterangan ukuran/persen  zat-zat tersebut? Misal berapa besar kandungan gula dalam sebuah kopi? Terus jenis kopinya juga banyak yang hanya tertulis kopi instan, nggak ada keterangan jenis kopi apa?
SB       : Kalau gula nggak ada, yang ada kandungan kopi 8 atau 10 %, selebihnya keterangan umum semisal krimer, gula. Tapi untuk kandungan pemanis ada beberapa merk menyantumkan detail sesuai keterangan nama kimianya. Ditemui juga beberapa merk yang detail menyantumkan kandungannya, ternyata tercantum kandungan gula, ditambah pemanis buatan. Jadi sebenarnya tiap sachet sudah tinggi kandungan gulanya, jika ditambah gula lagi, tentu kadar gulanya jadi meningkat. kalo keterangan jenis kopi rata-rata tidak ada keterangan khusus, kecuali satu atau dua merk mencantumkan kopi robusta.
INA     : Sebenarnya sejauh apa ya produsen melihat isu ini penting untuk dipahami konsumen? Toh pada prakteknya sehari-hari sebagai konsumen, kita juga jarang kan mengecek komposisi itu waktu minum.
SB       : Aku kurang tahu pasti, tapi sejauh yang ku tahu, jarang ada pembicaraan atau wacana tentang kandungan dalam komposisi minuman kopi instan. mungkin juga karena akibatnya tidak ditengarai secara langsung, tapi dalam waktu yang lama.Orang-orang farmasi dan kedokteran mungkin perlu berbagi pengetahuan. Tapi semacam kayak begini sama aja dengan rokok sih, baru berasa ketika mengalami gangguan kesehatan.
INA     : Kalau kita bicara soal peralihan budaya konsumsi minuman, apa bisa dibilang terbentuk budaya untuk tidak peduli minuman apa yang ditelan, tapi cuma peduli minuman apa yang terasa di lidah. Misal orang yang minum capucino itu mungkin nggak karena ngerasa enak di lidah.
SB       : Bisa juga, tapi yang terasa enak ternyata juga tidak apa-apa jika diminum, ditambah citraan iklan yang membikin menarik perhatian. Sederhanaya orang akan berhenti mengonsumsi jika tubuhnya sudah menandai gejala menolak kandungan tertentu. Pengetahuan informasi saja rasanya tidak cukup untuk mengubah kebiasaan seseorang yang sudah terlanjur candu. Jikalau sudah begini, balik ke tiap orangnya saja setidaknya bagaimana dia menyiasati keseimbangan kandungan minuman instan dalam tubuhnya, misal banyak-banyak minum air putih untuk menetralkan.
INA     : Sekarang beralih ke masalah modus berkarya. Bisa diceritakan bagaimana prosesmu terhadap minuman-minuman sachet itu sampai jadi karya?
SB       : Pilihan modus berkarya nya karena aku pengen ketika karyanya jadi, itu bisa sedikit banyak membantuku untuk mengurangi minum kopi instan, atau setidak-tidaknya mengingatkan lah, maka terpikir untuk mengemas ulang kopi instan dengan menonjolkan isi kandungan komposisinya.
INA     : Cara berkarya seperti itu apa lebih efektif dibanding misalnya menuagkan gagasan yang sama lewat drawing?
SB       : Menurutku iya, karena dengan begitu, setidaknya aku jadi membaca komposisinya beragam merk kopi instan, dan tahu warna kopi aslinya karena dikemas dengan plastik bening. Kalau dibuat drawing, pikiranku tentu juga terfokus pada aspek teknis bentuk dan keindahannya, kalo begini aku tak terlalu memikirkan bentuk, yang penting aku tahu oh ini toh isi kandungannya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

SAIFUL BACHRI, pedagang kaos keliling, penyuka roti yang suka menggambar di kala luang, aktif di User UGM.

Minggu, 28 September 2014

Industreealism




Wawancara Irham N. Anshari (INA) dengan Bondan Peksojandu (BP)

INA    : Bisa jelaskan sedikit ide awal karyamu?
BP       : Idenya simpel, berangkat dari obrolan-obrolan kita tentang industri minuman kemasan dan jejamuan. Kebanyakan dari mereka menggunakan jargon yang tipikal dari alam. “Pure Water Natural Life" (Amidis), “Alaminya Berikan Semua Kebaikan" (Teh Gelas), “Khasiat Alam Keahlian Modern" (Kiranti), “Persembahan Dari Alam" (Teh Kotak), dll. Beberapa contoh slogan yang menitikberatkan pada sumber bahan baku, yaitu alam.
INA     : Menurutmu apa wacana umum yang membuat mereka ramai memasukkan unsur "alam" dalam jargonnya? Apakah untuk menutup dari kenyataan bahwa produk industri itu tidak alami?
BP       : Sepertinya begitu, walau bertentangan , industri dan alam dekat sekali hubungannya, saking dekatnya mereka mencoba mendamaikan diantara keduanya
INA     : Misalnya mendamaikan bagaimana?
BP       : Maksudnya mendamaikan biar tidak terlihat adanya pertentangan. Apa ya istilahnya,
mengakurkan mungkin.
INA     : Misalnya bagaimana pada prakteknya? "alam" kan dipakai sebagai jargon industri tadi. Kalau produk-produk alam sendiri kan nggak pernah pakai jargon industri (misal jamu yang dijual mbok-mbok), atau nyambung juga?
BP       : Untuk yang industri skala besar terlihat pada gambar saya, pohon bagian atas. Untuk industri kecil yang lebih alami ada di pohon bagian bawah. Semua memanafaatkan alam.
INA     : Kalau industri skala kecil menurutmu gimana prakteknya?
BP     : Industri minuman paling kecil, contohnya es jeruk di angkringan. Sehat dan minim limbah .
INA     : Kalau untuk industri kecil, misal jeruk, kan industri dibangun dengan memakai bahan baku dari alam tanpa merusak alam. Kalau yang industri besar menurutmu bagaimana?
BP       : Secara besar-besaran maka akan merusak alam dan produknya merusak tubuh kita. Kemasan-kemasan minuman instan turut menyumbang kenaikan polusi limbah plastik. Belum lagi dari limbah selama produksi yang dihasilkan.
INA     : Balik lagi ke pernyataan pertamamu, berarti kalau pada pakai jargon "alam" itu semacam "ngapusi" ya atau menutup dosa?
BP       : Semacam membuat opini menurutku sih. Contoh, "duh pengen es jeruk ki", terus orang tersebut  beli buavita rasa jeruk, karena lagi ada di supermarket. Agar orang itu menganggap produknya kepanjangan tangan dari alam dan berpikir "toh sama aja, ini malah lebih praktis". Mungkin opini "sama aja" yang pengen dibentuk dari pihak produsen.
INA     : Fokus perhatianmu ke cara industri menggunakan jargon "alam".  Kalau dalam gambar ada simbol-simbol yang kamu pakai?
BP       : Dari bawah ke atas, bisa industri dari masa ke masa atau industri kecil ke besar
pada dasarnya semakin besar dari masa ke masa.
INA     : Kenapa memilih medium drawing hitam putih?
BP    : Mungkin sebagai kamuflase antara pohon dan bangunan-bangunan yang menempelinya


----------------------------------------------------------------------------------------------------

Bekas mahasiswa psikologi, pecinta lawan jenis dan desain grafis, bystander peradaban, aku BONDAN PEKSOJANDU, dukung aku ya!